Page 36 - Semangat Berbagi Semangat Menginspirasi (1)
P. 36

    Semangat Berbagi! Semangat Menginspirasi!
Akal Tak Sekali Tiba
Oleh: Afiani Astuti - Bandung Independent School, Jawa Barat
Pada awal pandemi Covid-19, saya merasa penasaran dengan distance learning (PJJ). Bagaimana sih rasanya mengajar daring? Seru atau melelahkan? Mengajar anak SD dalam situasi PJJ, tantangannya lebih berat karena belum ada pembiasaan menggunakan teknologi sepenuhnya dan pasti harus melibatkan orang tua.
Sekolah ‘Bandung Independent School’ tempat saya mengajar sudah memitigasi PJJ ini sekitar satu atau dua minggu sebelum PJJ dimulai, contohnya simulasi belajar daring dengan siswa. Guru-guru mulai diberikan tutorial Zoom, platform dan apps yang menunjang untuk mengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk penutur Asing). Dengan bekal dari sekolah yang masih dipelajari seadanya, saya mencoba berbagai apps dan hanya menggunakan Google Doc sebagai platform utama yang ditunjang oleh hyperlink-hyperlink yang berisi Wordwall, Kahoot, Quiziz, Quizlet, website berlangganan https://teachingindonesian.com.au. Dengan bekal apps yang masih minim, di satu pihak saya ingin memberikan variasi apps yang memfasilitasi pembelajaran yang pas dengan apps yang ada tapi di lain pihak, mengajarkan apps yang akan dipakai untuk anak SD pun sudah perjuangan sendiri.
Kekhawatiran yang nyata sebagai guru SD tidak sedikit, salah satunya selalu merasa mengajar dalam pantauan CCTV nonstop sehingga saya harus membuat tampilan pembelajaran yang berkualitas dan menarik, salah satunya dengan Bitmoji. Bersyukur sekali bisa bergabung dengan Kelas Kreatif yang banyak memberi inspirasi dan puluhan apps yang bisa saya pilih untuk disesuaikan dengan tingkat pengetahuan IT dan kemampuan siswa SD. Memang anak-anak SD bisa dikategorikan digital native yang dikenalkan (   dibanding kita yang digital migran, tetapi tidak semua apps bisa dioperasikannya dengan mudah karena UX (User Experience) yang berbeda dari setiap produk apps.
Masalah-masalah di atas muncul setelah adanya PJJ tapi ada masalah mendasar jauh sebelum ada PJJ, salah satunya adalah keterbatasan sumber belajar (Nuansa; 2018). Contohnya, terbatasnya bahan ajar dan buku bacaan anak-anak yang hanya menyajikan satu kalimat dalam satu lembar buku saja.
Di balik itu semua, PJJ membangkitkan semangat webinar untuk guru-guru yang mendukung profesionalismenya. Salah satu yang sangat berdampak dan menjadi bagian dari solusi adalah webinar ‘Writing Children Story Books 101: Show, Don't Tell’. Webinar ini, mendorong saya untuk menulis buku anak-anak sebagai bahan ajar dan juga mendapat semangat dari kelompok menulis guru-guru kelas kreatif ‘Pomodoro Writing Club’.
Satu buku sederhana, berjudul ‘Saya Rindu Nenek’ sudah dipakai pembelajaran BIPA kelas 1 SD meskipun masih tahap draft. Selain itu, webinar tersebut membuka jalan kepada laman-laman yang berhubungan dengan text bacaan anak-anak sampai pada titik saya mendapatkan sumber bahan bacaan yang cukup sesuai dengan harapan guru dan orang tua pada laman https://literacycloud.org/, meskipun saya harus menerjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Laman ini memuat buku-buku dengan konten kearifan lokal yang khas Indonesia dan bisa memberikan wawasan bagi pemelajar BIPA WNA. Orang tua juga pernah menyarankan untuk memberikan bacaan berbahasa Indonesia secara reguler karena dengan membaca bacaan berbahasa Indonesia, anak-anak mereka bisa lebih meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia. Dengan demikian, harapan saya dan orang tua, sudah mulai terwujud dan saya akan lebih fokus lagi untuk bisa berkontribusi dalam penulisan buku anak-anak khususnya untuk pemelajar BIPA. Refleksi pembelajaran semasa pandemi ini cukup diungkapkan dalam peribahasa “Akal tak sekali tiba”.
       Marc Prensky
Heidelberg;2015)
     28























































































   34   35   36   37   38