Page 67 - E-BIOSTORIETTE STRUKTUR DAN FUNGSI JARINGAN TUMBUHAN
P. 67

sesama keluarga yang sempat retak, terutama dengan ibu Meri yang kebetulan pun
       sudah mulai berhubungan baik dengan mantan suaminya; pak Dewa. Aku
       mendengar dari anak-anaknya, ia sudah membuktikan janjinya untuk berubah
       menjadi seorang ibu yang lebih bertanggung jawab. Aku masih ingat betul
       kesalahannya, karena telah menyakiti dan menghilang sampai tiba pada waktu
       hembusan napas terakhir ayah. Aku pun tidak percaya dengan kalimat maaf dan
       janjinya saat menemuiku setelah kecelakaan itu. Dipikir bagaimanapun ia terlihat
       seperti bukan seorang istri dan ibu yang baik. Ia bahkan terlihat seperti wanita yang
       selalu tidak puas dengan apa yang dimiliki. Bagaimana tidak? Ia seperti tidak
       punya hati. Meninggalkan suami pertamanya yang sedang sakit tanpa alasan jelas.
       Lalu ia datang menemui ayahku, mendekati keluarga kami yang jelas-jelas sudah
       seperti sahabat keluarganya, mengambil kepercayaan kami dengan kebaikan
       palsunya, dan setelah berhasil menikahi ayah, ia tega membiarkan anak-anak
       kandungnya yang masih kecil mengurus dirinya sendiri. Membohongi kami.
       Membohongi keluarganya. Itulah sebabnya, meskipun saudara-saudaraku telah
       memaafkannya, memintaku untuk memberinya kesempatan, aku tetap hanya bisa
       berpikir tanpa hati dan tidak mempercayainya. Namun, setelah berulangkali ia
       mencoba menampakkan rasa bersalahnya dan perubahan pada dirinya. Terlebih,
       ketika ia yang selalu mencoba membantu kesulitan keluargaku. Mendonorkan
       darah dan bagian tubuhnya untukku. Membantuku mencapai keinginanku untuk
       mengenalkan pengobatan dengan metode kultur itu. Aku akhirnya sampai pada titik
       hati yang terketuk, kumemaafkannya, mencoba mempercayai dan menganggap
       kehadirannya kembali. Itulah alasanku berkumpul dengan keluarga tiriku. Kami
       memang tidak terlahir sedarah. Namun kami berpikir, malam ini adalah malam
       besar untuk menganggap kami semua menjadi sedarah.
              Suara takbir panjang masih melengking terdengar keras. Baik dari suara
       bapak-bapak menggunakan pengeras suara masjid, suara pemuda dari lapangan
       luas yang berteriak lepas, atau anak-anak yang berkeliling menggunakan pukulan
       ember bekas. Malam itu, sepasang keluarga yang sempat retak berubah seperti
       sepasang merpati yang saling mengikat. Aku bersimpuh, memeluk setiap sosok
       dalam rumah itu. Kami saling menukar air mata. Mengeluarkan suara isi hati yang
       sempat kami sembunyikan dalam diri. Kalimat pahit, kecewa, amarah, luka
       bercampur aduk dalam sebuah air mata. Kami saling jujur, membuka pikiran,
       mengetuk kata maaf. Kami saling mencoba membuka usaha untuk menjadi benar-


                                         40
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72