Page 284 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 284
Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) menilai Undang
Undang Cipta Kerja cacat secara formil dan cacat materiil. Sekertaris Jenderal DPP KRPI, Saepul
Tavip menyatakan, sejak awal rencana pembuatan UU Cipta Kerja hingga disahkan, UU ini
memang penuh kontroversi di tengah masyarakat.
Hingga klaster ketenagakerjaan yang terakhir dibahaspun, masih menuai penolakan keras dari
kalangan Serikat Pekerja."Dari sisi formil, sejak diumumkan Presiden tentang rencana
pembuatan UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law, Pemerintah tidak terbuka untuk
melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan RUU Cipta Kerja tersebut," katanya dalam
keterangan pers yang diterima redaksi, Selasa (6/10/2020) malam.
DPR dan Pemerintah telah bersepakat mensahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja pada
Senin, 5 Oktober 2020 lalu. "Pemerintah hanya melibatkan kalangan pengusaha untuk membuat
draft RUU Cipta Kerja ini, hingga diserahkan ke DPR," katanya.
Padahal Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam
proses pembuatan suatu UU, namun dalam kenyataannya, pembahasan RUU Cipta Kerja,
masyarakat tidak dilibatkan.
"Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses
pembuatan suatu UU. Oleh karenanya Pemerintah dan DPR harus melibatkan masyarakat dalam
pembuatan UU Cipta Kerja namun dalam pelaksanaannya masyarakat tidak dilibatkan,"
katanya.Sejumlah pasal yang sudah disepakati di tingkat Panja ternyata berbeda hasil dengan
isi pasal UU Cipta Kerja yang disahkan. Misal Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing).
Dalam pembahasan RUU Cipker di tingkat Panja, telah disepakati untuk kembali ke UU 13/2003.
Tapi di UU Cipta Kerja yang disahkan kemarin, ternyata berbeda dengan isi kesepakatan Panja.
"Sehingga terindikasi ada pihak yang sengaja membelokkan poin-poin kesepakatan Panja,"
katanya.Dari sisi materiil, UU Cipta Kerja sarat dengan semangat fleksibilitas yang memastikan
penurunan perlindungan terhadap pekerja.
Dihapuskannya syarat PKWT maksimal 3 tahun dan sekali perpanjangan PKWT, dan
dibebaskannya outsourcing akan memastikan semakin banyak pekerja yang diperlakukan
dengan sistem PKWT dan outsourcing.
Seperti kita ketahui bersama pekerja PKWT dan outsourcing adalah pekerja yang rentan
dilanggar hak-hak normatifnya seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan
sosial.Dalam UU Cipker, upah minimum propinsi menjadi wajib ditetapkan oleh Gubernur,
sementara upah minimum kabupaten/kota menjadi tidak wajib (menggunakan kata dapat).
Hal ini akan mereduksi nilai upah sehingga mengancam penurunan kesejahteraan dan daya beli
pekerja.Prosedur dan mekanisme PHK yang lebih dilonggarkan serta kompensasi PHK yang
direduksi dengan dihilangkannya ketentuan 15% uang penggantian hak, dihapuskannya
ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK di berbagai pasal di UU No. 13 Tahun
2003 yang akan diatur di dalam Perturan Pemerintah (PP) merupakan bagian dari proses
menurunkan tingkat perlindungan pekerja ketika mengalami PHK. Easy hiring, easy firing sangat
terasa dalam UU ini.Demikian juga dengan dipermudahnya penggunaan Tenaga Kerja Asing
(TKA), jam kerja yang lebih fleksibel serta Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan
menurunkan imbal hasil JHT buruh, adalah bagian dari penurunan kesejahteraan buruh dan
keluarganya.
UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa hak rakyat adalah mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta hak mendapatkan jaminan sosial. "Sehingga
283