Page 60 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2021
P. 60
Di kapal, ia hanya dijadwalkan bekerja selama tiga hari dengan sistem satu hari kerja dan satu
hari libur. Setiap hari, lama kerjanya hanya 8-11 jam.
"Saya ikut kapal one day fishing. Jadi, berangkat melaut malam hari kemudian kembali ke darat
pada siang hari di hari berikutnya," katanya.
Ketika melaut, tak pernah sekalipun Farhan menjadi korban kekerasan verbal ataupun fisik oleh
kapten dan ABK lain. Aliran gajinya yang sekitar Rp 20 juta per bulan juga selalu diberikan tepat
waktu, baik yang ditunaikan sebagai uang saku maupun yang ditransfer langsung ke
orangtuanya di Tegal.
Setelah masa kerjanya berakhir, ia kembali ke kampung halaman menuju rumah yang sama,
tetapi kini menjadi lebih bagus setelah dipugar. Sebuah sepeda motor baru terparkir di halaman.
Orangtua Farhan juga membeli sebidang tanah dan menyisihkan sebagian sisanya untuk modal
usaha. Semua adalah buah manis dari jerih payah Farhan.
Kisah Farhan jauh berbeda dari sejumlah ABK di kapal perikanan berbendera asing lainnya,
terutama China. Alih-alih meraup dollar, mereka justru dipekerjakan paksa tanpa dibayar dan
diperlakukan secara tidak manusiawi, bahkan sampai tewas.
Menurut Farhan, kebanyakan ABK yang mengalami "masalah" diberangkatkan oleh perusahaan
penyalur yang tidak resmi. Pada banyak kasus, banyak calon ABK juga tidak memiliki
keterampilan kerja yang sesuai.
"Biasanya perusahaan penyalur abal-abal sengaja tidak mempertimbangkan latar belakang
pendidikan atau keterampilan yang dimiliki calon ABK. Itu ditonjolkan di iklan-iklan lowongannya,
misalnya 'bisa daftar tanpa ijazah dan pengalaman/Banyak, kok, iklan-iklan seperti itu di
Facebook," ujar Farhan.
Selain itu, perusahaan penyalur ABK ilegal juga menawarkan waktu pengurusan yang singkat.
Padahal, idealnya, perlu proses 3-6 bulan agar calon ABK siap diberangkatkan.
Inilah yang dialami Muhammad "Aab" Abdullah (25), warga Desa Guwa Kidul, Cirebon, Jawa
Barat. Mantan karyawan warung siomai itu nekat mendaftar ke PT Raja Crew Atlantik (RCA) di
Tegal pada September 2019 hanya dengan berbekal cerita pengalaman kakak iparnya.
Diberangkatkan hanya 1,5 bulan setelah mendaftar, Aab dimutasi secara sepihak dari satu kapal
China ke kapal China lainnya. Di kapal kedua, ia dipaksa bekerja tanpa istirahat selama dua hari
dua malam, hanya diberi makan bubur dengan lauk teri rebus dan minum air suling yang asin.
Dua temannya bahkan tewas karena kecelakaan kerja.
Setelah kembali, baru ia tahu PT RCA yang bangkrut dan bubar pada 2020 tidak memiliki
perizinan dari Kementerian Ketenagakerjaan ataupun dari Kementerian Perhubungan. "Saya
masih mau kerja di kapal. Tetapi, belajar dari pengalaman ini, saya harus cari perusahaan yang
resmi dan berizin," kata Aab, ketika dihubungi dari Manado, Selasa (14/9).
Kasus Aab adalah kelanjutan dari kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami ABK asal
Indonesia di kapal asing. Dalam kurun waktu November 2019-Juni 2021, Fishers Center, pusat
informasi, edukasi, dan pelaporan bagi ABK yang berkantor di Tegal dan Bitung, Sulawesi Utara,
menerima 35 aduan pelanggaran hak di luar negeri dengan ratusan korban.
Pelanggaran-pelanggaran itu, antara lain, kerja paksa, gaji tak dibayarkan, dan kekerasan fisik
ataupun seksual. Setidaknya 37 ABK asal Indonesia tewas ketika bekerja di kapal perikanan
59

