Page 61 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2021
P. 61
asing. Paling banyak di kapal China, 29 orang. Mereka diberangkatkan 16 perusahaan penyalur
ABK yang tidak resmi.
Namun, itu hanya mereka yang terlapor. Sebab, pada 2019 saja, Kementerian Luar Negeri
menangani 1.095 kasus kekerasan dan perbudakan terhadap ABK. Dua tahun sebelumnya, ada
masing-ma-sing 1.200 kasus terkait ABK yang mereka urus.
Menurut Ketua Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) Imam Syafi'i, penyiksaan terhadap
ABK asal Indonesia terjadi karena ekspektasi kapten akan tenaga kerja yang berkualitas, siap
kerja, dan lancar berkomunikasi dalam bahasa asing tidak terpenuhi. Peningkatan kecakapan
kerja pun seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan penyalur.
"Nilai tawar ABK yang berketerampilan kerja dan bahasa jauh lebih tinggi. Yang bertugas
memastikan para ABK terlatih sebenarnya Kementerian Ketenagakerjaan. Kalau mereka memang
repot, ya, perusahaan penyalur yang harus memastikan," kata Imam, Sabtu (9/10).
Tingkatkan kewaspadaan
Melihat tren ini, daerah pun bertindak untuk meningkatkan kewaspadaan ABK. Pemerintah Kota
Tegal, misalnya, melaksanakan program edukasi bagi calon ABK agar tidak terjebak pada
perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang ilegal. Program itu terus beijalan
sekalipun hanya sekali setahun karena keterbatasan anggaran Dinas Ketenagakerjaan dan
Perindustrian (Disnakerin).
Disnakerin Kota Tegal juga mengundang beberapa pengelola P3MI yang berlokasi di Tegal dalam
sosialisasi, September lalu. Mereka diminta selalu berkoordinasi dengan dinas sebelum merekrut
dan memberangkatkan ABK ataupun tenaga kerja migran lainnya untuk memudahkan
pemantauan.
Kendati begitu, Kepala Disnakerin Kota Tegal R Heru Setyawan mengakui program ini belum
digencarkan karena pihaknya tidak memiliki data P3MI. Jumlah ABK migran dari Tegal pun relatif
kecil.
"Kami enggak pernah dapat data P3MI, bahkan yang beroperasi di Kota Tegal karena penerbitan
izinnya adalah wewenang pemprov, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian
Perhubungan. Warga Kota Tegal yang jadi ABK di kapal asing juga sedikit. Jadi, kami belum
yakin apakah program ini akan efektif," kata Heru, Sabtu (9/10).
Dibandingkan dengan Kota Tegal, ABK migran lebih banyak di Kabupaten Tegal, Brebes, dan
Pemalang. Inisiatif meningkatkan kewaspadaan calon ABK di wilayah itu diambil lembaga non-
pemerintah, Destruc-tive Fishing Watch (DFW) Indonesia, dengan mencetak kader perlindungan
awak kapal perikanan.
Hingga kini, ada 70 warga yang dijadikan kader. Mereka tersebar di dua desa di Kabupaten
Tegal, satu desa di Brebes, dan satu desa di Pemalang, serta tiga kelurahan di Bitung, Sulawesi
Utara. Desa dan kelurahan yang dipilih adalah penyumbang terbesar ABK migran.
Koordinator Nasional DFW Indonesia, M Abdi Suhufan, mengatakan, para kader berasal dari
berbagai kalangan, seperti mantan ABK, ketua RT, dan ibu rumah tangga. Namun, mereka telah
mampu mengidentifikasi tanda-tanda perdagangan orang dan kerja paksa di kapal, seperti
intimidasi, jeratan utang, pemotongan upah sepihak, dan kekerasan fisik.
"Tugas utama mereka memperkenalkan indikator kerja paksa di kapal kepada masyarakat,
terutama calon ABK. Mereka juga akan menginformasikan pentingnya memenuhi persyaratan
dokumen, seperti paspor dan sertifikat kompetensi, sebelum berangkat," kata Abdi.
60

