Page 18 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 OKTOBER 2019
P. 18
mempertimbangkan tingkat kebutuhan hidup layak yang direkomendasikan oleh
dewan pengupahan. Kalaupun harus ada revisi, pemerintah sebaiknya membuka
ruang komunikasi dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, termasuk
kalangan buruh.
"Revisi juga harus mencakup keseluruhan bukan parsial. Artinya, pasal per pasal
benar-benar dikaji, bukan perubahan pasal per pasal sesuai keinginan pihak tertentu
seperti keinginan pengusaha atau pemerintah atau keinginan serikat pekerja,"
tegasnya.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada Susilo Andi Darma menilai
reaksi negatif serikat pekerja terhadap revisi tersebut mencerminkan ketidaksiapan
pekerja Indonesia dalam menghadapi pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.
Mereka, menurutnya, juga mengambil momen dari serangkaian demo yang
dilakukan untuk menolak pengesahan sejumlah undang-undang.
"Buruh kita (Indonesia) tidak siap. Kita saat ini sudah ketinggalan. Pengusaha saat
ini ingin satu rangkai pekerjaan dikerjakan oleh satu orang. Sekarang, satu rantai
masih dikerjakan oleh beberapa orang. Kalau revolusi terjadi, rasionalisasi pekerja
pasti terjadi," tuturnya.
Sepengetahuannya, draf resmi revisi UU Ketenagakerjaan belum ada, baik berupa
naskah akademis maupun rancangan undang-undang. Artinya, informasi yang
beredar mengenai isi revisi uu tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Bisa saja teman-teman buruh mendapatkan informasi dari sumber yang tidak bisa
dipercaya dan mereka tidak hati-hati," jelasnya.
Menurut Susilo, UU Ketenagakerjaan perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan
perkembangan revolusi industri 4.0. "Dalam revolusi industri 4,0, banyak praktik
kerja di lapangan yang belum bisa diakomodasi dalam UU13/2003. Misalnya, driver
Page 17 of 100.