Page 90 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 28 MEI 2020
P. 90
Keempat, adanya waktu yang eksploitatif. "Sebenarnya bukan eksploitatif tapi
fleksibel. Maksudnya begini, jadi selama ini kita bekerja harus 8 jam perhari.
Padahal dalam Omnibus Law diberikan kebebasan bekerja paruh waktu, sehingga
para pekerja bisa bekerja di beberapa tempat. Sebut saja pekerjaan yang bisa
dikerjakan tidak sampai 8 jam perhari, seperti desainer grafis ataupun programer.
Dengan adanya waktu kerja yang fleksibel akan membuka peluang kerja bagi ibu
rumah tangga dan para generasi milenial untuk bisa bekerja di dua tempat
sekaligus. Apalagi ke depan kita akan memasuki bonus demografi yang mayoritas
pekerja kita dari generasi milenial," papar Bambang.
Kelima, adanya isu tenaga kerja asing terutama buruh kasar akan bekerja di
Indonesia dengan bebas. "Padahal kenyataannya tenaga kerja asing semakin
diperketat untuk bisa bekerja di Indonesia. Jadi bagi tenaga kerja asing ada
beberapa jenis pekerjaan yang tidak memerlukan izin kerja, seperti diplomat, tenaga
kerja keagaaman, pendidik vokasi dan beberapa pekerjaan strategis lainnya,"
ungkapnya.
Untuk bisa bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing harus bisa menunjukkan
sertifikasi dari perusahaan sponsor. Hal itu untuk membuktikan kompetensi yang
dimiliki. Kemudian tenaga kerja asing juga harus dapat alih teknologi atau transfer
kelimuan kepada pekerja Indonesia.
"Jadi apabila tenaga kerja asing tidak mampu alih teknologi secara otomatis tidak
bisa bekerja di Indonesia. Kemudian, ada lagi yang berat bahwa tenaga kerja asing
harus bisa membayar pajak sebesar US$1.200 pertahun. Artinya dengan ketatnya
seleksi ini tentulah tenaga kerja kasar atau buruh kasar akan sulit bekerja di
Indonesia," tegasnya.
Keenam, hilangnya jaminan sosial. Padahal tidak ada penghilangan jaminan sosial,
bahkan dalam Omnibus Law akan banyak jaminan yang wajib disediakan oleh
perusahan bagi pekerja. Seperti jaminan kesehatan, jaminan keselamatan kerja,
bahkan tabungan perumahan rakyat. Selain itu dalam Omnibus Law akan diberikan
jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan
kerja.
Ketujuh, adanya isu bahwa pemutusan hubungan kerja akan dipermudah. Tentu
tidak demikian, dalam Omnibus Law perusahaan tidak bisa semena-mena untuk bisa
mem-PHK para pekerja. Bahkan ketika terjadi PHK dan belum ada putusan final
maka pekerja tersebut harus tetap diberikan upah oleh perusahaan.
Kedelapan, bahwa tidak benar cuti hamil, haid, menyusui, dan tahunan akan
dihapus bagi pekerja perempuan. Meskipun tidak ada dalam Omnibus Law, akan
tetapi khusus aturan ini tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaa No 13 tahun 2003,
yaitu aturan cuti bagi pekerja perempuan, baik menyusui, hamil, menikah atau
tahunan tetap akan berlaku seperti sedia kala.
Page 89 of 130.