Page 33 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 10 DESEMBER 2019
P. 33
"Dari laporan yang mewawancarai 34 ABK itu, perbudakan masih terjadi saat ini,
sangat jelas dan kami menduga terjadinya pembiaran atas perbudakan tersebut,"
kata Arifsyah.
Arifsyah mengatakan ada beberapa bentuk perbudakan di laut pertama Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan yang kedua adalah tindak pencucian uang.
Untuk menentukan terjadinya kerja paksa itu, Greenpeace bekerja sama dengan
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) untuk memeriksa dokumen kontrak, jam
kerja, paspor, tiket pesawat terbang serta mewawancarai para korban.
Mereka menggunakan 11 indikator yang telah ditetapkan badan organisasi
perburuhan ILO dalam menentukan apakah telah terjadi kerja paksa selama mereka
bekerja sebagai ABK.
Kesebelas indikator tersebut antara lain kerentanan pekerja, penipuan, pembatasan
gerak, isolasi, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, jeratan utang,
kondisi kerja yang tak layak, serta kerja melebihi waktu.
"Saat perekrutan mereka diiming-imingi gaji besar bekerja di atas kapal. Di kapal
dokumen penting seperti paspor mereka akan dipegang kapten kapal. Mereka pun
kerap menerima pemotongan gaji," kata dia.
Ia menilai ada kaitan cukup kuat dengan tindak pidana perdagangan orang,
perbudakan laut dan penangkapan ikan ilegal, salah satunya dengan penangkapan
ikan hiu di laut lepas.
Ia mengatakan terjadinya perbudakan tersebut melibatkan banyak negara, bukan
hanya negara asal tetapi juga negara transit. "Mereka yang bekerja di atas kapal
rentan mengalami eksploitasi karena tidak ada mekanisme negara-negara terkait
untuk saling memantau," kata dia.
Dari sumber Badan Perikanan Taiwan menyebutkan ABK yang paling banyak
dipekerjakan oleh kapal penangkapan ikan Taiwan adalah migran dari Indonesia
yaitu mencapai 12.991 orang, dan kedua terbanyak dari Filipina yaitu 6.016 orang.
Greenpeace meminta negara-negara di kawasan ASEAN untuk segera meratifikasi
ILO C188 tentang bekerja di perikanan. Saat ini di Asia Tenggara hanya Thailand
yang baru meratifikasi konvensi tersebut.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani Editor: Zita Meirina COPYRIGHT (c)2019 .
Page 32 of 73.

