Page 172 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 DESEMBER 2020
P. 172
BNP2TKI menyebut pendapatan dari remitansi pekerja migran Indonesia merupakan terbesar
kedua penyumbang APBN setelah sektor migas.
Jumlah kontribusi riil yang sangat besar ini nyatanya tidak dibarengi keseriusan perlindungan
pekerja migran Indonesia. Pekerja Migran Indonesia masih dipandang sebagai objek, bukan
subjek sebagai mitra pemerintah dalam mendatangkan devisa negara.
Hampir 64 persen dari populasi yang bermigrasi ke luar negeri bekerja sebagai pekerja migran
dan mayoritas diantaranya bekerja di Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Singapura dan Arab Saudi.
Pekerja migran ini sebagian besar bekerja sebagai pekerja domestik, perawat orang tua, pekerja
pabrik dan pekerja perkebunan. Rendahnya level pendidikan tenaga kerja yang dikirimkan,
mayoritas (68 persen) lulusan SD dan SMP (BNP2TKI, November 2019), menyebabkan pekerja
migran ditempatkan pada pekerjaan 3D (dirty, demeaning, and dangerous) dengan gaji yang
jauh lebih rendah dari pekerja lokal.
Terutama bagi pekerja domestik dan perawat orang tua yang harus bekerja lebih dari 18 jam
setiap harinya dan terkadang harus melakukan dua atau tiga jenis pekerjaan yang sama sekali
tidak tercantum dalam kontrak kerja.
Seperti di Taiwan, perawat professional dari warga lokal yang menjaga orang tua selama lebih
dari 8 jam (hampir 24 jam) digaji sebanyak 60.000 NT (Rp 27.000.000) setiap bulannya, namun
pekerja migran dengan pekerjaan yang sama bahkan terkadang ditambah dengan pekerjaan
rumah tangga seperti memasak dan bersih-bersih rumah hanya digaji sebanyak 18.000 NT (Rp
8.100.000) belum lagi terkadang harus mengalami pemotongan gaji setiap bulannya.
Masih banyak lagi rentetan permasalahan seperti rendahnya pekerja migran yang mengakses
layanan kesehatan karena takut dipulangkan ke Indonesia kalau ketahuan mengidap penyakit
tertentu tanpa adanya tunjangan atau pesangon, tingginya angka kecelakaan kerja yang
disebabkan waktu kerja yang terlalu panjang atau tidak ada pergantian shift yang wajar (banyak
pekerja migran selalu kebagian shift malam), tidak tersedia tempat tinggal yang layak dan
makanan yang sesuai bagi kebutuhan seorang Muslim dimana mayoritas pekerja migran
beragama Islam, menunjukkan masih lemahnya perlindungan negara terhadap pekerja migran.
Payung hukum perlindungan warga negara di luar negeri Indonesia, sebagai negara berdaulat
dan berlandaskan hukum memiliki payung hukum yang lebih dari cukup untuk mengoptimalkan
perlindungan bagi warga negaranya yang berada di luar negeri. Landasan utama Undang-
Undang Dasar 1945 UUD 1945 pada Alinea IV secara gamblang menyatakan "melindungi
segenap bangsa dan seluruh lumpah darah Indonesia", mengamanatkan adanya perlindungan
bagi WNI dimanapun berada.
Undang Undang 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pada Pasal 19 menyebutkan:
"Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan
dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri sesuai dengan
peraluran perundangundangan nasional serta hukum kebiasaan internasional.
Dan yang baru saja diresmikan Undang Undang 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia, memiliki aturan yang komprehensif untuk melindungi pekerja migran yang berada di
luar negeri, namun hanya saja seperti aturan perlindungan WNI lainnya, implementasinya masih
jauh panggang dari api.
Masih sedikitnya peraturan turunan berupa PP atau Permen sebagai implementasi UU 18/2017
membuat proses penegakan aturan secara teknis menjadi lemah.
Penegakan hukum UU 18/2017 menjadi amat penting. Misalnya soal perlindungan pekerja
informal di luar negeri. Mayoritas pekerja migran Indonesia bekerja di sector informal. Negara-
171