Page 9 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 DESEMBER 2020
P. 9
JAKARTA, KOMPAS --- Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sekitar 10 bulan menambah
panjang deretan persoalan ketenagakerjaan. Sebagian buruh bekerja tanpa perlindungan dan
fasilitas kesehatan memadai, serta upah dan pemenuhan hak yang minim. Ke depan, buruh
didorong aktif berserikat dan membekali diri untuk meningkatkan posisi tawar dan
memperjuangkan haknya.
Survei Marsinah FM dan Kelompok Belajar Perburuhan selama Covid-19 terhadap buruh di 83
perusahaan menunjukkan, sebagian besar buruh mengalami perlakuan buruk dan ketidakpastian
kerja. Perusahaan yang disurvei itu, antara lain, bergerak di garmen, tekstil, kulit, alas kaki,
perhotelan, restoran, ritel, jasa keuangan, kimia, karet, plastik, percetakan, logam, dan
komponen otomotif.
Survei pada Maret 2020 terhadap buruh di Jabodetabek, Karawang, dan Jawa Tengah itu juga
memperlihatkan, 67,81 persen buruh masih harus bekerja. Namun, sebanyak 25,25 persen
buruh bekerja tanpa fasilitas kesehatan dari perusahaan, seperti masker, fasilitas cuci tangan,
dan penyemprotan disinfektan di lingkungan kerja.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan pemangkasan upah juga bertambah selama
pandemi. Survei pada Juli 2020 menunjukkan, sebanyak 65,85 persen buruh yang dirumahkan
tidak mendapat upah sama sekali.
Sejalan, survei Dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha oleh Badan Pusat Statistik
menunjukkan, 14 dari setiap lOO perusahaan atau 17,06 persen perusahaan yang beroperasi
selama pandemi merumahkan karyawannya tanpa upah. Adapun 12,83 persen perusahaan
memberhentikan pekerja dalam waktu singkat daripada mem-PHK.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia Dian Septi, Minggu (20/12/2020),
mengatakan, pandemi menjadikan situasi tidak menentu. Buruh harus terima kenyataan
kehilangan pekerjaan atau upah dipotong sewaktu-wak-tu. Itu diperparah dengan kebijakan
pemerintah yang tak tegas soal pemenuhan hak buruh selama pandemi.
Pemerintah kerap melempar keputusan pada perundingan bipartit antara buruh dan pengusaha.
Sebagai contoh, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/111/2020 tentang
Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Covid-19.
"Alih-alih melindungi pekerja, kebijakan itu kerap merugikan buruh yang posisi tawarnya lebih
rendah dari perusahaan. Apalagi, tidak semua buruh bergabung dalam serikat dan memahami
haknya sebagai pekerja," ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Memahami hak
Belajar dari pengalaman pandemi, lanjut Dian, pekerja harus proaktif mempertanyakan dan
memperjuangkan haknya dalam perundingan bipartit dan dalam mengakses jatah distribusi
bantuan sosial. Ke depan, advokasi dan pendidikan terhadap pekerja akan ditingkatkan agar
mampu menaikkan posisi tawar dan berargumen dengan perusahaan.
Apalagi, kasus ketenagakerjaan meningkat drastis selama pandemi dan diproyeksikan tetap akan
naik selama ekonomi belum pulih.
"Kami telah sampaikan kepada teman-teman pekerja untuk bisa membela diri sendiri dan tahu
hak-haknya sebagai pekerja," ujarnya.
Menurut Dian, selama pandemi, jumlah buruh yang bergabung dalam serikat bertambah. Hal ini
terjadi karena mereka tengah terkena kasus dan dalam posisi rentan sehingga membutuhkan
perlindungan. Namun, banyak buruh yang memilih tidak berserikat untuk melindungi diri selama
8