Page 25 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 22 SEPTEMBER 2021
P. 25

Perlakuan ini diterapkan mulai dari pekerjaan formal hingga informal, di mana sebagian besar
              bentuk-bentuk pekerja anak yang tidak dapat diterima, ditemukan.
              Bentuk pekerjaan yang tak dapat diterima itu mencakup pekerjaan di perusahaan berbasis rumah
              tangga, usaha pertanian, jasa rumah tangga, dan pekerjaan tak dibayar lain yang dilakukan
              karena  adat  istiadat,  di  mana  anak-anak  bekerja  sebagai  imbalan  atas  makan  dan  minum
              mereka.

              Anak mungkin terdorong untuk bekerja karena berbagai alasan. Paling sering, anak terpaksa
              bekerja ketika keluarga menghadapi tantangan keuangan, baik karena kemiskinan, orangtua
              mendadak sakit, maupun pencari nafkah utama kehilangan pekerjaan.

              Pekerjaan rumah besar

              Konsekuensi  dari  anak  yang  bekerja  sangat  mencengangkan.  Pekerjaan  anak  dapat
              mengakibatkan  kerusakan  fisik  dan  mental  yang  ekstrem  bahkan  kematian.  Ini  bentuk  dari
              praktik perbudakan dan eksploitasi seksual serta ekonomi. Di hampir setiap kasus, keputusan
              untuk  bekerja  membuat  anak  berhenti  bersekolah  dan  kehilangan  hak  atas  pemenuhan
              kesehatan dasar, pendidikan, dan mengancam masa depan mereka.

              Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan praktik pekerja anak, sayangnya sampai
              saat ini pekerja anak masih dan terus ada bahkan dapat kita temui di lingkungan sekitar kita.
              Coba renungkan, berapa banyak pekerja anak yang bekerja sebagai loper koran, pemulung, atau
              pengamen?

              Pekerja  anak  ini  terus  ada  karena  orang  menerimanya  dan  mencari-cari  alasan  untuk  meno
              rmalkan nya. Hak-hak anak tidak dihormati, perjanjian dan konvensi internasional tidak dipatuhi,
              serta sistem pendidikan masih me-ngecualikan anak-anak miskin dan rentan.

              Selain  itu,  konsumen  menuntut  produk  murah  sehingga  digunakanlah  pekerja  anak  untuk
              memangkas ongkos produksi, rumah tangga mempekerjakan anak sebagai asisten rumah tangga
              karena biaya jasa lebih murah, serta tidak tersedianya pekerjaan layak untuk orang dewasa,
              sehingga anak harus bekerja.

              Tetapi yang paling utama, pekerja anak masih ada karena kita belum cukup berusaha untuk
              menghentikannya.

              Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pekerja anak cukup tinggi. Berdasarkan data
              Sakernas  pada  Agustus  2020,  diketahui  3,25  persen  anak  berusia  10-17  tahun  merupakan
              pekerja anak (mencapai 1,4 juta anak), dengan proporsi anak perempuan berusia 10-17 tahun
              bekerja 3,16 persen (lebih dari 600.000) dan proporsi anak laki-laki yang bekerja 3,34 persen
              (lebih dari 700.000).

              Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan merupakan lima
              provinsi dengan jumlah pekerja anak terbanyak di Indonesia, lebih dari 100.000 anak di setiap
              provinsi.

              Pandemi Covid-19 turut berperan meningkatkan pekerja anak. Unicef memperkirakan tambahan
              9 juta pekerja anak di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19.

              Analisis terbaru dari ILO-Unicef menunjukkan 8,9 juta anak akan menjadi pekerja anak akhir
              2022 akibat meningkatnya kemiskinan yang didorong pandemi.






                                                           24
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30