Page 151 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 3 JANUARI 2022
P. 151

memperkuat  pengawasan  terhadap  proses  PHK.  Lemahnya  pengawasan  dari  pemerintah
              membuat sebagian perusahaan melakukan PHK tidak wajar dengan berlindung di balik Covid-
              19.

              Minimnya pengawasan pemerintah terhadap pekerja yang mengalami PHK dan migrasi sepihak,
              ini  terlihat  pada  kasus  karyawan  Asuransi  Jiwasraya.  Sampai  hari  ini  mereka  diminta  untuk
              bermigrasi ke perusahaan-perusahaan baru tanpa pesangon dan pemenuhan hak-hak lainnya
              sebagai seorang pekerja. Tenaga kerja dalam negeri kita juga harus kembali gigit jari karena
              pada waktu yang sama tenaga kerja asing justru berbondong-bondong masuk ke Indonesia.

              Pemerintah memang mengantisipasi menurunnya daya beli masyarakat selama Pandemi Covid-
              19 dengan mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Harapannya dengan adanya
              program-program  seperti  ini,  selain  meningkatkan  daya  beli  masyarakat  juga  mampu
              merangsang  pertumbuhan  ekonomi  khususnya  di  sektor  UMKM.  Beberapa  program  JPS
              pemerintah seperti BLT, PKH, Kartu Prakerja, Kartu Sembako, Subsidi Listrik, BSU dan lain-lain
              digulirkan sesuai peruntukannya masing-masing. Kebijakan JPS dari pemerintah yang berangkat
              dari filosofi 'memberi ikan' kepada kelompok yang tak memiliki kail, nampak bagus, akan tetapi
              faktanya tidak terlalu efektif dalam membantu ekonomi masyarakat. Survei Indonesia Political
              Opinion (IPO) bahkan menilai program jaring pengaman sosial pemerintah tidak terlalu bagus di
              mata masyarakat. Salah satu program jaring pengaman sosial yang banyak mendapat penilaian
              negatif dari masyarakat menurut JPO adalah Kartu Prakerja. Kartu Prakerja dianggap tidak efektif
              dan tepat sasaran sehingga masyarakat yang sudah terkena dampak Covid-19 tersebut justru
              tidak terbantu dengan adanya Program JPS.
              Tingginya tingkat pengangguran atau penduduk usia kerja yang terkena dampak Covid-19 ini
              juga  bukan  hanya  memengaruhi  ekonomi  rill  masyarakat,  tapi  juga  berpengaruh  terhadap
              kehidupan secara sosial. Pandemi Covid-19 membuat kehidupan banyak keluarga berantakan
              karena minimnya ekonomi. Pengadilan Agama (PA) dari beberapa daerah melaporkan angka
              perceraian  saat  Pandemi  Covid-19  cenderung  meningkat  di  bandingkan  tahun-tahun
              sebelumnya. Hal itu sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat (PA Jakbar).
              Sejak  awal  2021  hingga  saat  ini,  PA  Jakbar  telah  menerima  lebih  dari  3.200  perkara  kasus
              perceraian yang mayoritas gugatan cerai diajukan oleh pihak istri.

              Minimnya  lapangan  kerja  di  tanah  air  membuat  sebagian  besar  masyarakat  memilih  untuk
              menjadi  pekerja  migran.  Pada  tahun  2017,  Bank  Dunia  mencatat  Indonesia  menjadi
              penyumbang kedua terbesar pekerja migran di ASEAN. Dari total 6,5 juta tenaga kerja migran
              yang tersebar di Malaysia, Singapura, dan Thailand, sebanyak 1,2 juta orang disumbang oleh
              Indonesia. Terbatasnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, rendahnya tingkat pendidikan, dan
              diperkuat  kebutuhan  hidup  yang  semakin  tinggi,  menjadi  alasan  yang  memaksa  sebagian
              masyarakat Indonesia memilih untuk menjadi pekerja migran. Mereka tersebar di berbagai sektor
              formal maupun informal, legal ataupun non-prosedural. World Bank dan BPS melaporkan jumlah
              mereka saat ini ada sekitar 9 juta jiwa yang tersebar di berbagai negara.

              Pada satu sisi, kita memang harus mangapresiasi upaya yang dilakukan oleh para PMI dalam
              memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Mereka adalah pahlawan bagi keluarganya. Bukan
              hanya itu saja, hadirnya PMI yang tersebar di berbagai negara telah menyumbang devisa yang
              tinggi bagi negara. Di samping itu, banyaknya pekerja migran Indonesia ini juga harus menjadi
              kritik mendasar terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola pasar tenaga kerja. Banyaknya
              rakyat kita yang memilih untuk menjadi PMI dengan segala risikonya merupakan residu dari
              ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja di tanah air. Sederhananya,
              jika memang lapangan kerja di Indonesia tersedia dan layak, kiranya rakyat kita tidak perlu harus
              menantang maut untuk menjadi PMI di luar sana. Apalagi, banyak dari PMI ini berangkat secara
              non-prosedural yang risikonya jauh lebih tinggi. Hampir setiap tahun kita menyaksikan banyak


                                                           150
   146   147   148   149   150   151   152   153   154   155   156