Page 24 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 FEBRUARI 2020
P. 24
tertentu. Beleid ini masih diperparah dengan dihilangkannya kewajiban bagi TKA
untuk mampu berbahasa Indonesia.
Bila dalam UU 13/2003 pengecualian kewajiban memperoleh pendidikan dan
pelatihan dalam rangka transfer of job dan knowledge hanya untuk direksi dan
komisaris, dalam RUU Cipta Kerja, pengecualian hanya ditulis bagi TKA dengan
jabatan tertentu. "Kewajiban izinnya hilang, kewajiban berbahasa Indonesia juga
hilang. Ini pintu masuk bagi TKA buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan
untuk masuk ke Indonesia," kata Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI).
Baidowi pun mengamini bahwa dibukanya keran bagi masuknya TKA justru
berpotensi kontraproduktif dengan cita-cita dan tujuan dibuatnya RUU Cipta Kerja.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja mestinya mendukung tumbuh dan melindungi rintisan
yang dimotori anak-anak bangsa sendiri. Oleh karena itu, kelonggaran terhadap
masuknya TKA pada rintisan harus dipikir lebih dalam lagi. "Sebab, startup (rintisan)
itu kan salah satu yang ingin kita hidupkan," katanya.
Dalam hal waktu kerja, RUU Cipta Kerja mengatur waktu 40 jam per pekan dengan
satu hari libur. Ini berbeda dengan UU Nomor 13/2003 yang memberikan pilihan
waktu kerja tujuh jam per hari untuk enam hari kerja atau delapan jam per hari
untuk lima hari kerja.
Kritik lain berkaitan dengan status tenaga kerja kontrak lepas alias outsourcing.
Dihapusnya Pasal 59 UU Nomor 13/2003 yang mengatur kontrak kerja maksimal
dua tahun dan dapat diperpanjang satu tahun lagi dianggap sebagai lampu hijau
bagi pengusaha untuk memberlakukan sistem outsourcing tanpa batas.
Beleid itu menimbulkan implikasi lain pada perlindungan terhadap tenaga kerja, di
antaranya terhadap pemecatan. Menurut Iqbal, akibat penggunaan tenaga kerja
kontrak, outsourcing, dan upah yang dibayarkan per satuan waktu (upah per jam),
jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akan hilang.
Begitu pula dengan status outsourcing. Pekerja akan rentan dari PHK karena
perusahaan tidak punya kewajiban apa-apa ketika melakukan PHK terhadap
mereka. Artinya, RUU Cipta Kerja juga mempermudah perusahaan melakukan PHK.
UU Nomor 13/2003 hanya mengatur empat jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa
izin. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, ada delapan jenis PHK yang bisa dilakukan
tanpa izin. Salah satunya bila perusahaan melakukan efisiensi. "Dengan alasan
melakukan efisiensi, pekerja bisa dengan mudah di-PHK," ujar Iqbal.
Beberapa polemik ketenagakerjaan dalam RUU Sapu Jagat Cipta Kerja tersebut
sudah lebih dari cukup untuk menyebut RUU Cipta Kerja masih jauh dari sempurna.
Meskipun tak dapat dimungkiri bahwa tujuan awal diterbitkannya RUU ini adalah
menciptakan lapangan pekerjaan seluas-seluasnya.
Page 23 of 94.