Page 36 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 DESEMBER 2021
P. 36
Rusdi membandingkan kebijakan upah di era presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) pada saat menghadapi dam pak krisis 1997-1998. Padahal, ketika itu, dampak krisis
moneter lebih parah dibandingkan pandemi Covid-19 saat ini.
Bahkan, ketika itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai sektor dan nilai tukar
rupiah naik hingga di atas Rp 10 ribu. Namun, upah buruh tetap dinaikkan, tidak menekannya,
sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.
"Inilah sebuah teori kalau ekonomi ingin stabil, maka naikkan upah, agar daya beli meningkat,
agar upahnya bisa menyerap hasil produksi daripada industri, menyerap jualan dari pedagang
kecil," kata Rusdi.
Namun, Rusdi menyayangkan, sejak 2015, Presiden Jokowi menekan upah buruh. Akibatnya,
tidak hanya kaum buruh yang sengsara, tapi juga pedagang kecil yang omzetnya turun sampai
40 persen. Hal itu terjadi lantaran upah kaum buruh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
"Ternyata Jokowi menghembus kekeliruan besar. Kebijakan upah yang dilakukannya, bukanlah
kebijakan upah yang pro terhadap kaum buruh, tapi pro kepada investor," kata Rusdi.
Salah satunya adalah melalui paket kebijakan. Menurut Rusdi, melalui kebijakan itu upah di
Indonesia harus ditekan dalam rangka untuk menarik investor. Baginya teori, jika investor
datang, akan tenciptalah lapangan pekerjaan adalah omong kosong.
Berkali-kali presiden membuat kebijakan yang selalu menyengsarakan kaum buruh.
"Katanya, kalau investor datang kemudian duit datang, maka tenci ptalah lapangan pekerjaan
bulshit, upah ditekan 8 persen. Udah tahu salah dan menyengsarakan, tapi diulangi lagi melalui
omnibus law," kata Rusdi. Bali mansur ed:agusyulianto
35

