Page 295 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 DESEMBER 2021
P. 295
Sontak hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari kalangan buruh. Mereka menolak keputusan
tersebut dan kembali pada tuntutan kenaikan Upah Minimum(UM) sebesar 7-10% pada tahun
2022. Aksi demonstrasi pun tidak dapat dihindari, bahkan mereka berencana melakukan mogok
nasional pada tanggal 6-8 Desember 2021.
Menyikapi sikap kontra tersebut, Indah Anggoro Putri selaku Dirjen Pembinaan Hubungan
Industrial (PHI) dan Jamsos Kemnaker memahami bahwa UM tahun 2022 belum bisa memenuhi
ekspektasi sebagian pihak, namun seharusnya hal ini bisa diapresiasi sebagai suatu langkah maju
karena negeri ini berada pada masa pemulihan dari pandemi yang tengah terjadi.
(Bisnis.com 25 Oktober 2021) Kekecewaan pun semakin menjadi saat Menaker Ida Fauziyah
menyatakan bahwa upah minimum buruh di Indonesia dinilai terlalu tinggi. Pernyataan ini jelas
mengiris hati para buruh karena dinilai miskin empati dan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Dibanding gaji anggota dewan beserta tunjangan-tunjangannya atau penghasilan orang-orang
kaya di negeri ini, gaji buruh jauh dari kata layak, kenaikan sebesar 1% dinilai sangat tidak
manusiawi karena tidak seimbang dengan tingginya angka inflasi.
Jika diprediksi bahwa inflasi di tahun 2022 sekitar 3-4% maka semestinya upah yang harus naik
pun berkisar pada nominal yang sama atau lebih. Hal ini tidak bisa dianggap sepele, karena
tinggi rendahnya gaji buruh ikut berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.
Karena jika jika pendapatan masyarakat rendah maka konsumsi serta daya beli mereka pun akan
berkurang. Hal tersebut dipastikan akan berimbas pada kesejahteraan, ketika pendapatan tidak
mencukupi sementara biaya hidup saat ini semakin mahal; PPN yang semakin naik, tarif listrik
dan air yang tidak murah, ditambah dengan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin
melambung akan membuat kondisi perekonomian akan semakin sulit untuk dicapai.
Apa yang terjadi tentu memiliki landasan dan latar belakang. Kapitalisme memiliki peran besar
dalam permainan politik ekonomi hari ini. Kapitalisme telah mendudukkan posisi pekerja agar
sejajar dengan faktor produksi lain.
Mereka berusaha sebisa mungkin agar bisa berlepas diri dari kesejahteraan kaum buruh, bahkan
menganggapnya tidak lebih dari pekerja yang tidak berhak mendapat upah yang layak.
Bisa dikatakan apa yang terjadi saat ini tak ubahnya seperti perbudakan modern bahkan lebih
tidak manusiawi. Para pemilik modal menjadikan upah sebagai variable cost yang sangat bisa
ditekan sekehendak hati mereka, sehingga merasa berhak untuk menentukan besaran upah bagi
pekerja.
Jika upah terlalu kecil jelas akan menghambat produktivitas, untuk itu mereka memanfaatkan
wewenang penguasa untuk memberlakukan aturan korporasi sesuai dengan yang mereka
kehendaki. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori "upah besi" di mana upah tidak bisa lagi
ditekan karena akan mempengaruhi produktivitas pekerja.
Inilah cara kapitalis dalam menyelesaikan masalah upah. Alih-alih memberi rasa keadilan dan
menjamin kesejahteraan, justru keterpurukan dan kesengsaraan lah yang didapatkan oleh
masyarakat. Karena semuanya diukur dari keuntungan materi dari para pemilik modal yang tidak
mau rugi dan cenderung mementingkan diri sendiri.
Berbeda dengan Islam, syariat telah menetapkan bahwa perhitungan upah harus berdasarkan
manfaat diberikan pekerja kepada pihak yang mempekerjakannya. Tinggi atau rendahnya nilai
barang yang diproduksi, laku tidaknya penjualan barang tidak bisa dijadikan sebagai patokan
penentuan upah. Ketika manfaat sudah diberikan oleh pekerja maka upahnya wajib ditunaikan
oleh majikannya.
294

