Page 24 - USHUL FIQH (1)_Neat
P. 24

Dalam kenyataannya, ada ulama mazhab Syafi’iyyah yang berupaya
              menyusun teori tersendiri, sehingga terdapat pertentangan dengan
              teori yang telah dibangun. Misalnya, Imam al-Amidi (ahli ushul fiqh
              Syafi’i), menyatakan bahwa ijma’ al-sukuti dapat dijadikan hujjah dalam
              menetapkan hukum Islam (Al Amidi:117). Imam al-Syafi’i sendiri tidak
              mengakui keabsahan ijma’ sukuti sebagai hujjah, karena ijma’ yang dia
              terima hanyalah ijma’ para sahabat secara jelas. Imam al-Amidi dan Imam
              al-Qarafi (ahli ushul fiqh Maliki), berupaya menggabungkan teori aliran
              Syafi’iyyah / Mutakallimin dengan aliran fuqaha’. Hal ini mereka lakukan
              untuk mencari jalan terbaik dalam masalah ushul fiqh. Oleh sebab itu,
              ada beberapa teori ushul fiqh mereka yang bertentangan dengan pendapat
              mazhab mereka sendiri, seperti apa yang dikemukakan Al-Amidi di atas.
                  Akibat dari perhatian yang hanya setuju kepada masalah-masalah
              teoretis, teori yang dibangun aliran Syafi’iyyah / Mutakallimin sering tidak
              membawa pengaruh pada keperluan praktis. Sesuai dengan namanya,
              aliran  Mutakallimin  (ahli  kalam),  maka  aspek-aspek  bahasa  sangat
              dominan dalam pembahasan ushul fiqh mereka. Misalnya, masalah tahsin
              (menganggap suatu perbuatan itu baik dan dapat dicapai oleh akal atau
              tidak) dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai oleh
              akal atau tidak). Pembahasan seperti ini, biasanya dikemukakan para
              ahli ushul fiqh berkaitan dengan pembahasan hakim (pembuat hukum).
              Kedua konsep ini berkaitan erat dengan masalah ilmu kalam yang juga
              berpengaruh dalam penentuan teori ushul fiqh. Akibat lain dari teori aliran
              ini adalah terjebak dengan masalah-masalah yang terkadang mustahil
              terjadi, seperti persoalan taklif al ma’dum (pembebanan hukum atas sesuatu
              yang tidak ada), atau terjebak dalam permasalahan ‘aqidah, seperti ke-
              ma’shum-an (terpelihara dari kesalahan) Rasulullah.
                  Kitab ushul fiqh standar dalam aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin
              (Muhammad al Zuhaili: 245) ini adalah: al-Risalah yang disusun Imam
              al-Syafi’i, kitab al-Mu’tamad, disusun Abu al-Husain Muhammad ibn ‘Ali
              al-Bashri (w. 463 H), kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, disusun Imam al-
              Haramain al-Juwaini (w. 487 H), dan tiga rangkaian kitab ushul fiqh Imam
              Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1085-1111 M), yaitu: al-Mankhul min
              Ta’liqat al Ushul; Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik
              al-Ta’lil; dan al-Mustashfa fi ilm al-Ushul. Sekalipun kitab ushul fiqh dalam
              aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin cukup banyak, tetapi menjadi sumber dan
              standar dalam aliran ini adalah kitab ushul fiqh tersebut di atas.





             10   Ushul Fiqh
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29