Page 105 - BUMI TERE LIYE
P. 105
TereLiye “Bumi” 102
”Kamu hari ini bermain dengannya, tidak?” aku berbisik lagi.
Si Putih tetap mengeong seperti biasa. Aku menghela napas.
Seandainya tahu bahasa kucing, aku bisa bertanya pada si Putih, apakah si
Hitam sungguhan tidak terlihat. Apakah si Putih selama ini sebenar ny a
hanya bermain sendirian. Apakah si Putih berteman dengan si Hitam?
”Lho, kenapa belum berganti pakaian, Ra? Ayo, bergegas, seragamm u
itu kan juga lembap terkena gerimis. Nanti masuk angin.” Mama yang
membawa sisa jemuran menegurku.
”Iya, Ma.” Aku mengangguk. ”Kita ke kamar yuk, Put,” aku berbisik ke
kucingku, lantas beranjak menaiki anak tangga, melewati si Hitam yang
tetap tidak bergerak dari duduknya, ha-nya melihatku.
Kecuali merasa ganjil karena terus diperhatikan si Hitam, sisa hariku
berjalan normal. Aku berganti seragam, makan siang, mem-bantu Mama
mencuci piring dan peralatan dapur, lantas bebas sepanjang sore.
”Kamu sebenarnya mencari apa sih, Ra?” Mama yang sedang
menyetrika bingung melihatku mondar-mandir satu jam kemudi-an.
”Ada yang hilang, Ra?” Mama yang sudah pindah merapikan keping
DVD di ruang televisi bertanya untuk kesekian kali-nya.
Aku mengangkat bahu. ”Bolpoin Ra hilang, Ma.”
”Bolpoin? Segitunya dicari? Kan bisa beli lagi?”
Aku nyengir. Namanya juga alasan asal, mana sempat ku-pikirkan
baik-baik. Tapi setidaknya Mama tidak bertanya lagi, membiarkanku terus
mengacak-acak rumah.
Dua jam tidak kunjung lelah, aku akhirnya mengembuskan napas
sebal. Tidak ada sesuatu yang ganjil. Ali boleh jadi tidak sempat memasan g
sesuatu, atau dia kali ini memang genius sekali, meletakkan alat penyadap
yang tidak bisa ditemukan. Satu jam lagi berlalu sia-sia, aku
mengempaskan tubuh di kursi kamarku, juga tidak menemukan apa pun.
http://cariinformasi.com