Page 107 - BUMI TERE LIYE
P. 107

TereLiye “Bumi” 104



                         ***

                         Agak  ajaib  memang  hari  ini,  tumben  tidak  ada  PR  yang  harus
                  ku-kerjakan  untuk  besok.  Aku malas  belajar  matematika  per-siapan  ulangan
                  minggu  depan,  masih  lama,  nanti-nanti  saja,   juga   malas   membaca  novel
                  tebal  itu.  Aku  akhirnya  hanya  bermain  dengan  si  Putih.  Tapi  itu  pun  tidak
                  lama.  Rasanya  ganjil  sekali  me-lempar   gulungan   benang  wol,  lantas  si Putih
                  riang  me-nyambar-nya,  antusias  membawanya  kembali  ke  pangkuanku.
                  Se-men-tara  si  Hitam,    kucing    satunya    lagi,  duduk  di  atas  kasur,
                  memperhatikan,  tidak  tertarik.


                         Aku  melirik  si  Hitam,  lalu  berbisik  kepada  si  Putih  yang  manja
                  kugendong.  Aku  bertanya  lagi  apakah  si Putih  melihat  si Hitam  yang   duduk
                  mengawasi.      Mana      ada    kucing    normal     yang    tidak    tertarik    main
                  lempar-lemparan?  Bukankah  dulu  si  Hitam  senang  sekali  melakukannya.
                  Atau  tidak?


                         Aku  menghela  napas,  beranjak  berdiri,  meletakkan  si  Putih.  Baru
                  pukul  sembilan,  aku memutuskan  tidur  lebih  awal.  Tidak  ada   hal   seru  yang
                  bisa  kulakukan  dengan  seekor  kucing  aneh  terus  mengawasiku.  Aku  malas
                  mengenakan  sandal,  pergi  ke kamar  mandi,  gosok  gigi.

                         Keluar  dari  kamar  mandi,  aku  benar-benar  melupakan  se-potong
                  kalimat  percakapan  tadi  malam.  Tepatnya,  aku  tidak  mem-perhat ikan
                  bahwa  kami  ada  ”janji  pertemuan”  berikutnya.  Aku  bersenandung  pelan,
                  kembali  ke  kamar,  menutup  pintu,  me-nguap,  bersiap  meloncat  ke  atas
                  kasur.  Saat  itu  telingaku  men-dengar  si  Hitam  justru  menggeram  di  atas
                  kasurku.  Belum  genap  aku  memperhatikan  kenapa  si  Hitam  terdengar
                  begitu  galak,  sosok  tinggi  itu  telah  berdiri  di  dalam  cermin.


                         ”Halo,  Gadis  Kecil.”

                         Aku  refleks  menoleh.


                         ”Kamu  sepertinya  tidak  sedang  menungguku.”  Sosok   tinggi   kurus  itu
                  tersenyum  suram.  Cerminku  terlihat  lebih  gelap  di-banding  biasanya.  Tidak
                  ada  bayangan  apa  pun  di  dalamnya  selain  wajah  tirus,  kuping  mengerucut ,
                  rambut  meranggas.  Sosok  tinggi  kurus  itu  telah  kembali,  memandangk u
                  dengan  tatapan  ber-beda  seperti  malam  sebelumnya.  Dia  marah.







                                                                            http://cariinformasi.com
   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112