Page 125 - BUMI TERE LIYE
P. 125
TereLiye “Bumi” 122
Sekolah kami memang dekat dengan gardu listrik. Dulu katanya gardu
listriknya mau di-pindahkan karena penduduk sekitar sudah protes. Tapi
hingga sekarang tidak pindah juga.
”Kita makan di resto fast food dekat sekolah saja ya, Ra?” Seli balik
kanan, mengembuskan napas sebal.
”Kamu punya uangnya, Sel?” aku bertanya balik.
Seli menggelang. ”Tidak. Tapi kan nggak ada pilihan lain.”
”Mau kupinjami uang?”
”Nggak usah, Ra. Mungkin kalau beli yang paket hemat ada uangny a.”
Aku nyengir, ikut melangkah di belakang Seli. Nasib jadi murid kelas
sepuluh seperti kami ini uang saku serba terbatas. Aku bahkan dibawakan
bekal oleh Mama, agar berhemat.
”Tapi nanti pas pulang kamu yang traktir bayar angkot, ya.” Seli
menoleh.
Aku tertawa, mengangguk. Siap.
Tapi ternyata urusan makan siang ini jadi panjang sekali, juga urusan
Klub Menulis, apalagi rencana Mama yang mau ada arisan di rumah dan
Papa yang masih sibuk dengan masalah mesin pencacah di pabriknya.
Siang itu, seluruh cerita berbelok tajam.
Saat kami melewati kembali lorong di belakang sekolah, asyik
mengobrol tentang Klub Menulis, salah satu petugas PLN ber-teriak panik,
”Awas!”
Aku dan Seli refleks menoleh. Belum genap mengerti apa yang sedang
terjadi, terdengar suara meletup dari gardu listrik. Beberapa petugas lain
berlarian menghindar, berteriak lebih panik. ”Awas! Menghindar!”
http://cariinformasi.com