Page 277 - BUMI TERE LIYE
P. 277

TereLiye “Bumi” 274



                         Aku  dan  Seli  mendongak,  menatap  bangunan  berbentuk  balon  yang
                  semakin  banyak.

                         ”Itu berarti  Ilo termasuk  keluarga  kaya,”  Ali  berbisik.


                         ”Lantas  kenapa?”  Aku  menatap  Ali,  tidak  mengerti.

                         ”Ya tidak  apa­apa.  Kan  Ilo  sendiri  yang  mengucapkan  kalimat  itu.”  Ali
                  mengangkat  bahu,  merasa  tidak  berdosa  dengan  tingkah  nyi-nyirnya.


                         Aku  memilih  membiarkan  si  genius  di  sebelahku.  Kembali  asyik
                  menatap  pemandangan.

                         Kapsul  yang  kami  naiki  terus menghilir.  Tiang-tiang  tinggi  itu semakin
                  berkurang,  tertinggal  jauh  di  belakang.  Tepian  sungai  kembali  dipenuh i
                  hamparan  pasir,  dengan  pohon  kelapa  tumbuh  rapat.  Pohonnya  tinggi,
                  pelepah  daunnya  hijau,  buahnya  besar-besar.  Jika  melihat  vegetasi  di  tepi
                  sungai,  sepertinya  kami  sudah  semakin  dekat  dengan  teluk  kota.


                         ”Kita  tidak  jauh,  lagi  anak­anak,”  Ilo  di  atas  bangku  kemudi
                  memberitahu.  ”Dan  kabar  baiknya,  aku  baru  saja  menerima   kabar   dari  Vey
                  dan  Ou,  mereka  sudah  tiba  di  rumah  peristirahat­an.”

                         Kami  ikut  senang  mendengar  kabar  itu.

                         Matahari  siap  tenggelam  di kaki  barat saat kapsul  kereta  akhirnya  tiba
                  di muara  sungai,  di laut  lepas.  Ilo memutar  ke-mudi.  Kapsul  berbelok  ke kiri,
                  bergerak  di  sepanjang  tepi  pantai.  Lebih  banyak  lagi  pohon  kelapa,  juga
                  hamparan  pasir  sejauh  mata  memandang.


                         Aku  keluar  dari  kapsul,  menatap  tanpa  berkedip.  Aku  belum  pernah
                  menyaksikan  pantai  sebersih  dan  seindah  ini,  lengkap  dengan  sunset-nya.

                         Seli   di  sebelahku      juga   memperhatikan        lamat-lamat      matahar i
                  tenggelam.


                         ”Indah  sekali,  bukan?”  aku  berkata  pelan.

                         Seli  hanya  diam,  masih  mematung  menatap   lurus.   Setelah  be-berapa
                  detik  saat  seluruh  matahari  hilang  ditelan  lautan,  me-nyisakan  sembur at
                  jingga,  Seli  baru  mengembuskan  napas  perlahan.






                                                                            http://cariinformasi.com
   272   273   274   275   276   277   278   279   280   281   282