Page 74 - E - MODUL STUDI AGAMA KONTEMPORER
P. 74
mengidentikkan kelompok ini dalam hal argumentasi, tujuan dan strategi
65
seperti gerakan American Intteligent Design.
Sebagai suatu sistem yang historis, Islam senantiasa sarat dengan
perspektif pengembangan ideologi yang menuntun perubahan sosial, termasuk
pembangunan politik. Namun dalam menghadapi proses sekularisme, hukum-
hukum Islam (syariat) mengalami desakan-desakan yang pada gilirannya
membuat wilayah yurisdiksi syariat menjadi terbatas. Lembaga ulama juga
kian terdesak, dan peran ulama kian memudar. Sementara itu peranan agama
dalam politisasi masyarakat banyak dimainkan oleh tokoh-tokoh Islam non-
ulama.
Fatwa MUI mendefinisikan sekularisme sebagai paham yang menganggap
agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sementara
hubungan antara manusia dengan manusia tak bsisa diatur agama. Setelah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya
sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, respons mengenai tiga tema ini
menjadi begitu luas, dan melibatkan banyak intelektual Muslim-pro dan kontra.
Secara langsung, fatwa MUI tersebut telah menjadi penyebab munculnya
stigma negatif kepada ketiga paham tersebut. Padahal sebelumnya, diskrsus
tentang sekularisme, liberalisme, dan oluralisme bisa berjalan dengan sangat
produktif lepas setuju atau tidak setuju dengan konsepsi ini. Tetapi sekarang,
setelah fatwa pengharaman ini, perbincangan terkait dengan konsep dan ide-
ide ini termasuk masalah Islam dan negara menjadi sangat emosional, dan
penolakan terhadap ketiga konsep yang terkait dengan masalah kebebasan
beragama pun meluas ke seluruh Indonesia, baik di kampus-kampus,
pesantren, organisasi Islam, sampai perbincangan di media massa.
Merumuskan sebuah pembahasan perihal sekularisme di antara kalangan
Islam Progresif merupakan pekerjaan yang tidak gampang. Namun demikian,
adalah ekstrem memandang gagasan sekularisme sebagai paham anti-agama.
Sekularisme sebetulnya bukan antiagama. Ia digagas untuk memisahkan antara
65 Ahmad Khoirul Fata dan Siti Mahmudah Noorhayati, Op. Cit, hal 225.
69