Page 2 - Cerpen Rindu di Musim Wabah
P. 2

Sedang  latar  dari  pemandangan  itu,  ada  bentang  langit  yang  sedikit  berkabut,
            menampakkan separuh wajah matahari yang membiaskan warna merah kesumba. Warna
            itu dulu pernah ditunjukkan ibu ketika aku masih di kampung. Kata ibu, warna seperti itu
            merupakan tanda-tanda adanya petaka.

            Rasa  takut  dan  takjubku  masih  menyisakan  jantung  yang  berdebar,  keringat  melumasi
            tubuh yang merinding. Isriku ada di ruang tengah menemani anak-anak belajar, sesekali
            beringsut ke dapur untuk mengecek masakan di atas kompor.
            Aku masih merinding, antara takjub dan takut.

            Itu terjadi lima hari setelah ibu menelponku agar tidak mudik dulu, karena pandemi sedang
            berlangsung, di pintu masuk kabupaten, kecamatan dan desa dijaga ketat oleh keamanan
            dan tenaga medis. Kata ibu, pandemi itu sudah menjangkiti  4 orang warga  di kampung
            kelahiranku, semuanya meninggal dengan cepat dan dikubur tanpa kehadiran keluaraga
            dan tanpa ritual apa-apa.

            Orang-orang dianjurkan tetap di rumah kecuali apabila ada kepentingan mendesak seperti
            belanja sembako, tapi harus memakai masker dan menjaga jarak. Ibu menangis di ujung
            telpon.  Sedang  di  belakangnya,  terdengar  suara  serak  ayah,  menyampaikan  nasihat
            sembari  batuk-batuk,  sengal  napasnya  terdengar.  Lalu  ayah  turut  menangis  juga.  Aku
            mematung, sambil menelan ludah getir. Di ujung telpon, dua orangtuaku berbicara dengan
            isak.  Aku  bisa  menyimpulkan  bahwa  pandemi  benar-benar  mengancam  nyawa  setiap
            orang, sebagaimana yang diberitakan secara luas di banyak kanal televisi.

            “Lebaran kemarin kamu sudah gagal mudik, Nak!. Aku sangat merindukan kamu, istri dan
            dua anakmu itu.”

            “Sama,  saya  juga  sangat merindukan  ibu  dan  ayah.  Tahun  ini saya  memang berencana
            mudik, Bu.”

            “Tapi keadaan tidak memungkinkan, Nak. Lebih baik kamu jangan mudik dulu. Kita tahan
            rindu ini demi kebaikan kita juga.”

               Sama, saya juga sangat merindukan ibu dan ayah. Tahun ini saya
                                       memang berencana mudik, Bu.

            “Tapi, Bu..”

            “Kita tak boleh bertemu, Nak!”

            Tangis  ibu  dan  ayah  di  ujung  telpon  membuatku  tertegun  lama.  Air  mataku  perlahan
            menitik, dadaku renyuh. Aku terisak. Dalam tangis yang sama, aku dan kedua orangtuaku
            saat itu seperti tengah mengemas kerinduan dalam petak dada yang gersang.

            “Penyakit ayah bagaimana, Bu?”
   1   2   3   4   5