Page 3 - Cerpen Rindu di Musim Wabah
P. 3

Ibu tidak langsung menjawab. Tangisnya nyaris menyerupai bunyi curah hujan. biasanya jika
            menangis sedemikian kerasnya, ibu akan menutup wajahnya dengan ujung kerudung yang
            ia pakai.

            “Kamu tidak usah menanyakan penyakit ayahmu. Semua baik-baik saja.”
            Saat itu juga sambungan telpon kami tiba-tiba terputus. Aku selalu gagal saat berusaha
            kembali menghubungi ibu. Ketika HP kuabai dengan maksud menunggu panggilan balik dari
            ibu, ternyata juga sia-sia. Berhari-hari telpon ibu tidak bisa kuhubungi, kalimat terakhir yang
            menyatakan  ayah  baik-baik  saja  bagiku  agak  mustahil,  sebab  seminggu  sebelum  itu,
            penyakit ayah kambuh dan harus dibawa ke rumah sakit.

            #

            Keluargaku yang terbangun di tengah kota ini sebenarnya berawal dari rantau pertamaku—
            empat belas tahun silam—yang diniatkan mencari nafkah untuk mengobati ayah. Saat itu
            aku  masih  remaja.  Ayah  yang  semula  jadi  tulang  punggung  keluarga  terpaksa  harus
            menjalani  hari-harinya  dengan  berbaring  lemah  karena  serangan  jantung.  Itu  terjadi
            setelah suatu hari ayah pingsan di sebuah pasar tradisonal saat ia mengayuh becak.

            Ayah dikerumuni banyak orang, digotong dengan iringan tangis. Aku dan ibu hampir pingsan
            juga.  Kami  menangis  histeris.  Lalu  ayah  dirawat  dengan  biaya  semampu  kami  hingga
            sepetak kebun kelapa satu-satunya harta kami lenyap, tapi tak membuahkan hasil sedikit
            pun  bagi  kesehatan  ayah.  Keadaan  itu  membuatku berkeinginan  besar  merantau untuk
            bekerja demi keluarga dan demi ayah. Berminggu-minggu lamanya ibu tidak mengizinkan,
            aku terus berusaha agar restu ibu segera kudapat. Setiap hari aku pasti datang ke kamarnya
            untuk  pamit,  hingga  suatu  saat,  setelah  aku  terus  memaksa,  akhirnya  ibu  mengizinkan
            meski harus dengan tangis dan kata-kata yang menggetarkan jiwa.

            Tahun 1995 aku resmi merantau ke kota ini, bekerja sebagai penjaga warung kelontong
            milik salah satu kerabat. Dua tahun setelah itu aku menikah dengan istri setelah enam bulan
            berkenalan;  ia  sebagai  penjual  es  keliling  dan  aku  salah  satu  pelanggannya.  Kami
            menikah—selain karena cinta—juga karena disatukan oleh nasib yang sama; kami sama-
            sama  perantau  yang  berjuang  keras  di  tanah  orang.  Istriku  rela  berpisah  dengan
            keluarganya di Riau juga demi mencari nafkah di kota ini.

            Setelah  menikah,  kami  mengontrak  rumah  ini.  Di  sini  kami  membuka  usaha  baru  semi
            mandiri yang murni hanya dilakukan aku dan istri. Di depan rumah, kami berjualan bakso,
            nasi dan soto. Pernikahan kami berjalan lancar dan penuh kebahagiaan. Kami pun dikaruniai
            dua orang anak laki-laki. Sebagaimana keluarga perantau pada umumnya, kami terbiasa
            mudik  saat lebaran.  Kadang mudik  ke  Riau,  kadang mudik  ke  Madura.  Inti  dari  aktivitas
            mudik  tersebut  adalah  untuk  bersilaturrahmi dengan  keluarga  sekaligus  demi memecah
            rasa rindu.

            “Bapak! Eh bapak ada di sini?” tiba-tiba istriku berdiri di depan pintu, membawa nampan
            berisi  secangkir  kopi  dan  sepiring  goreng  pisang.  Ia  tercengang  melihatku,  sepasang
            matanya yang lembut mengamati tubuhku dari kaki hingga kepala. Tapi kemudian bibirnya
            megembang,  perlahan  ia  tersenyum.  Wajahnya  menyiratkan  gurat  kebahagiaan.  Ia
            menaruh nampan di meja, lalu berlari ke arahku.
   1   2   3   4   5