Page 4 - Cerpen Rindu di Musim Wabah
P. 4
“Bapaaaak!”
Ia memeluk tubuhku erat sekali. Kepalanya ia benamkan di dada membuat wajahnya
menatap ke samping. Giliran aku yang keheranan, kenapa istriku bisa seperti ini.
“Sudah lama aku merindukanmu, Pak!. Kenapa bapak datang sendirian ke sini? Ibu sedang
apa?. O iya, aku ingin makan bersama bapak, seperti dulu, ketika aku masih kecil.
Bapaaaak! Kenapa bapak hanya diam? Ayo bicara, Pak. Aku sudah merindukan suaramu.”
Istriku mengguncang-guncang tubuhku, memaksa agar aku bicara.
Sudah lama aku merindukanmu, Pak. Kenapa bapak datang sendirian
ke sini? Ibu sedang apa. O iya, aku ingin makan bersama bapak,
seperti dulu, ketika aku masih kecil. Bapaaaak! Kenapa bapak hanya
diam? Ayo bicara, Pak. Aku sudah merindukan suaramu.
“Ma! Coba amati baik-baik. Siapa aku ini sebenarnya,” telapak tanganku pelan kulayangkan
dengan lembut di permukaan rambutnya yang harum. Ia lalu mengangkat wajah. Sepasang
matanya lekat menatap wajahku dengan sorot yang demikian teliti.
“Lho? Kok kamu, Mas!”
Ia melepas pelukan dan sedikit tampak malu. Aku tersenyum, sambil menyentuh bahunya
dengan lembut.
“Kerinduan yang mendalam memang membuat apa yang kita lihat bisa berubah, mengikuti
suara kerinduan yang terperam di dada.”
Suara pelanku lalu diganti senyap saat kami saling menatap. Sejenak kami membisu.
Kemudian terdengar suara dua anak kami yang bergurau di halaman. Juga ada bunyi siaran
telivisi di kamar tengah, masih dengan berita wabah.
“Entahlah, Mas! Jujur sejak ada pelarangan untuk mudik, kerinduanku membuat segala apa
yang kulihat kadang berubah menjadi wajah bapak atau ibu.”
“Aku juga sering mengalami hal itu, tapi selama ini masih merahasiakannya kepadamu.”
“Jadi, kita sama-sama dilanda rasa rindu kepada keluarga?”
“Iya. Cuma kita harus menahan diri untuk tidak mudik, itu juga demi keselamatan keluarga.”
“Nanti setelah wabah berlalu sebaiknya kita mudik ke Riau saja ya, Mas.”
“Ke Madura saja, Ma.”
“Ke Riau, Mas.”