Page 224 - Anatomi-dan-Fisiologi-Manusia-Komprehensif
P. 224
Anatomi Fisiologi Manusia
Kemajuan penting dalam pencegahan dan pengobatan serangan asma adalah
pemakaian kortikosteroid oral atau inhalasi di awal periode serangan atau
sebagai terapi pencegahan. Kortikosteroid bekerja sebagai agents anti-inflamasi
yang paten. Demikian juga, obat-obat inhalasi yang menstabilkan sel mast
digunakan untuk mencegah serangan asma. Efek dari obat yang diinhalasi ini
tampaknya terbatas di sistem pernapasan, sehingga obat-obat tersebut aman
dan efektif untuk menangani asma. Karena asma merupakan penyakit yang
progresi, mempertahankan program terapi sangat penting bahkan pada periode
di antara episode serangan asma.
Bronkodilator yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor beta adrenergik di
jalan napas (agonis beta) merupakan terapi asma yang utama. Obat ini diinhalasi
(atau diberikan dalam bentuk sirup pada anak yang masih sangat kecil) pada saat
awitan serangan dan di antara serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak
menghambat respon inflamasi sehingga tidak efektif jika digunakan secara
tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk, penggunaan terlalu sering
atau pengguanaan tunggal bronkodilator menyebabkan angka kematian yang
bermakna. Saat ini telah tersedia agnosis beta adrenergik jangka panjang yang
dapat menurunkan penggunaan inhaler yang sering pada beberapa pasien.
Kombinasi produk yang mengandung kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
agnosis beta-2 lepas lambat tampaknya memperbaiki tingkat kepatuhan dan
menurunkan eksaserbasi.
Agnosis-beta juga dapat digunakan sebelum olahraga pada individu pengidap
asma yang dipicu aktivitas fisik berat.
Meskipun poten dalam terapi pencegahan dan pengobatan asma dan alergi,
kortikosteroid tidak memberi efek sintesis dan pelepasan leukotrien. Leukotriene
adalah produk metabolism asam arakidonat dan berperan dalam proses
inflamasi. Produk leukotrien dapat dicegah dengan penggunaan inhibitor 5-
lipoksigenase (zileuton) atau dengan menghambat reseptor leukotrien spesifik
menggunakan leukotriene receptor antagonist (LTRA) seperti montelukast atau
zafirlukast. Menifestasi obat LTRA memiliki sifat bronkodilator dan anti-inflamasi,
serta mungkin digunakan untuk menunjang kortikosteroid.
Obat antikolinergik dapat diberikan untuk mengurangi efek parasimpatis
sehingga melemaskan otot polos bronkiolus. Akan tetapi, obat ini memiliki
rentang keamanan terapeutik yang sempit sehingga jarang digunakan dalam
praktik umum.
Intervensi perilaku, yang ditujukan untuk menenangkan pasien agar stimulus
perasimpatis ke jalan napas berkurang, juga merupakan tindakan yang penting.
Jika individu berhenti menangis akan memungkinkan aliran udara yang lambat
dan sempat dihangatkan, sehingga rangsangan terhadap jalan napas berkurang.
218