Page 7 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 7
Munculnya istilah “pencinta” (lovers) dan “pembenci” (haters) jelas
telah membuat setiap kritik, bahkan yang paling serius sekalipun, bisa
gampang terbuang ke dalam keranjang sampah berlabel “kebencian”, atau
“sinisme”. Itulah yang selama ini dialami oleh setiap kritik dan pengkritik
terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Meski terkesan sederhana, keberadaan framing semacam itu
sebenarnya bersifat destruktif terhadap kontestasi kewarasan di ruang
publik kita, karena akhirnya semua kritik yang pernah muncul terhadap
Pemerintah kadang tak dianggap, dikecilkan, dan dikerdilkan tanpa
terkecuali.
Pada sisi Pemerintah, adanya framing semacam itu sebenarnya telah
merugikan mereka juga. Sebab, karena menganggapnya hanya sebagai
bentuk sinisme belaka, akibatnya Pemerintah jadi membuta-tulikan dirinya
sendiri terhadap kritik-kritik tadi. Ini tentu saja buruk bagi demokrasi. Jika
kritik publik telah diabaikan, maka satu-satunya yang bisa mengontrol
Pemerintah tinggalah krisis.
Kita bisa melihat sendiri, hampir lima tahun ini Pemerintah hampir
selalu baru mau mengkoreksi kebijakannya sesudah ketemu dengan krisis.
Mulai dari pengistimewaan terhadap mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama tempo hari, hingga proyek infrastruktur, semua baru dikoreksi
sesudah muncul krisis.
Sedangkan pada sisi publik dan kelompok oposan, keberadaan framing
negatif tadi telah membuat argumentasi waras apapun yang mereka susun
untuk menilai dan mengkritisi kebijakan pemerintah (atau kekuasaan secara
umum) akhirnya kurang bermakna. Ini benar-benar kondisi buruk, karena
bisa mengakumulasi rasa frustrasi publik.
Jika kita mau jujur, di luar soal identitas, yang sebenarnya telah
menggerakkan jutaan orang pada berjilid-jilid aksi massa pada tahun 2016
silam, misalnya, atau aksi-aksi turunan sesudahnya, adalah rasa frustrasi
semacam tadi. Publik merasa frustrasi menghadapi perilaku buta-tuli
kekuasaan. Sehingga, ketika ketemu trigger yang berhasil mempersatukan
mereka, kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan show
off di hadapan kekuasaan. Kebetulan saja picunya adalah kasus penistaan
agama (blasphemy). Jadi, politik identitas sebenarnya bukanlah satu-satunya
pemicu lahirnya aksi massa besar-besaran dalam tiga tahun terakhir.
CATATAN-CATATAN KRITIS vii
DARI SENAYAN