Page 37 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 37
terjadi, salah satunya, disebabkan oleh pandangan struktural
negara yang cenderung melabelinya dengan istilah “lahan tak
bertuan”, “tanah telantar,” “kawasan hutan” dan berbagai istilah
lain yang menyulitkan–jika tidak mau menyebut menyingkirkan–
hak masyarakat tempatan untuk mengakses sumber agraria yang
ada di sekitarnya.
Kabupaten Kampar, yang di atasnya memiliki berbagai
sumber daya, sesungguhnya di dalamnya terdapat komunitas
masyarakat adat tempatan yang telah mendiami kawasan tersebut
jauh sebelum Indonesia menjadi negara merdeka. Masyarakat
adat ini tergabung dalam suatu pemerintahan konfederasi adat
Kedatuan Andiko Nan 44. Masyarakat Adat Kedatuan Andiko Nan
44 ini tersebar ke dalam sub-sub struktur adat dalam bentuk
“kenegerian” di hampir keseluruhan daratan Kampar. Sementara
beberapa di antaranya bahkan ada di Kabupaten Rokan Hulu dan
Kabupaten Pelalawan serta Provinsi Sumatera Barat. 3
Penggunaan istilah “tanah telantar” dan sejenisnya cenderung
diikuti dengan kelahiran suatu istilah lainnya, yang dianggap
lebih “sesuai aturan hukum yang berlaku”, yaitu “tanah negara”.
Logikanya sederhana, saat tanah disebut telantar, lalu siapa yang
patut menguasai atau bahkan memilikinya? Jawabannya adalah
negara. Persoalannya bukan pada pilihan bahwa tanah yang
terlantar itu kemudian dikuasai oleh negara, tapi bagaimana
proses tanah itu disebut telantar? Dan apa yang dimaksud dengan
tanah negara?
Label ini, tanah negara, telah mengalami penormaan sejak
tahun 1953 dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 8
3 Ali Akbar, Kemitraan Adat Tali Berpilin Tiga Daerah Kampar-Riau, LKATIKA Kabupaten
Kampar, Bangkinang, 1996, hlm.
2 Reforma Agraria Tanah Ulayat