Page 12 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 12

Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia     3


             pembangunan. Sehingga pelibatan mereka akan bisa melindungi identitas dan kepentingannya,
             serta mengurangi kemiskinan (UN dalam Quane, 2008).
                   Sejalan dengan dimensi HAM yang perlu dimasukkan dalam kerangka pembangunan di
             era  Reformasi,  Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  Republik  Indonesia  Nomor
             IX/MPR/2001  tentang  Pembaruan  Agraria  dan  Pengelolaan  Sumberdaya  Alam  menetapkan
             prinsip-prinsip dasar dalam pengeloaan sumberdaya agraria/pertanahan, antara lain:
             a.  memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

             b.  menghormati dan menjunjung tinggi hak azasi manusia;
             c.  menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi
                 hukum; dan
             d.  menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

                   Dalam  konteks  permasalahan  pertanahan  di  Kota  Batam,  dimensi  HAM  menjadi  isu
             terdepan untuk dikemukakan. Di tengah pesatnya pembangunan telah melahirkan kesenjangan
             antara  kawasan  yang  dibangun  oleh  BP  Batam  dan  kawasan  permukiman  yang  telah  ada
             sebelum  era  Otorita.  Di  kawasan  Perkampungan  Tua  masyarakat  tradisional  Kampung  Tua
             merasa  disisihkan  karena  tidak  bisa  memperoleh  sertipikat  hak  atas  tanah  dan  pelayanan
             publik  yang  adil.  ‘Marginalisasi’  dirasa  mengemuka  dengan  kesewenangan  BP  Batam  dalam

             memperoleh lahan ketika industrialisasi menggusur areal Kampung Tua. Pemko Batam melihat
             hal itu sebagai kesewenangan atas hak asali masyarakat yang telah turun temurun tinggal di
             Perkampungan  Tua,  padahal  di  tengah-tengah  kehidupan  tradisional  mereka  terdapat  nilai-
             nilai budaya asli Melayu yang perlu dipertahankan, sebagai jati diri daerah dalam keberagaman
             budaya nasional.


             Pendahuluan
                   Batam  merupakan  kota  industri  dan  perdagangan  yang  telah  jauh  berkembang  pesat
             dibandingkan daerah-daerah sekitarnya di Kepulauan Riau. Melalui bentuk pengelolaan daerah
             otorita, Batam telah menjelma sebagai kota yang maju dan modern. Suatu kondisi yang sangat
             berbeda ketika pulau itu baru dikembangkan awal 1970-an. Tanah yang dikembangkan untuk

             industri  dan  perdagangan  merupakan  Tanah  Negara  yang  dikuasai  dan  dikelola  oleh  Badan
             Pengelola  Kawasan/Badan  Otorita  Batam  (BP  Batam).  Pendaftaran  tanah  di  Batam  baru
             dimulai  tahun  1990-an.  Sertipikasi  tanah  di  area  otorita  dimulai  dengan  lahirnya  Hak
             Pengelolaan (HPL) yang dipegang oleh BP Batam. Dilihat dari Daftar Isian (DI) 302 di Kantor
             Pertanahan (Kantah) Kota Batam, saat ini ada sekitar 1.000 permohonan sertipikasi Hak Guna

             Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) per bulan, di samping ada juga terbit beberapa Hak Milik
             (HM),  yang  mana  pada  kasus  ini  BP  Batam  merasa  kecolongan,  dan  menyarankan  kepada
             Kantah untuk tidak meneruskan penerbitan HM.
                   Di  samping  tanah  untuk  kepentingan  Otorita,  terdapat  juga  tanah-tanah  pantai  yang
             dikuasai  oleh  masyarakat  tempatan  di  Kampung-kampung  Tua  yang  mayoritas  nelayan
             keturunan  suku  bangsa  Bugis  dan  Melayu.  Penguasaan  tanah  oleh  penduduk  Kampung  Tua

             telah  berlangsung  puluhan  atau  ratusan  tahun,  sebelum  era  Otorita.  Disinyalir  terdapat  134
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17