Page 137 - Persoalan Agraria Kontemporer: Teknologi, Pemetaan, Penilaian Tanah, dan Konflik
P. 137

tetapi  dapat  berupa  bentuk  mata  pencaharian  baru  atau  keterlibatan
                  dalam  usaha  pemanfaatan  hutan  di  sekitarnya  atau  pembangunan
                  fasilitas  umum/sosial  yang  bermanfaat  bagi  masyarakat  hukum  adat
                  setempat  dan  dalam  batas  kewajaran/tidak  berlebihan,  serta  tidak
                  bertendensi   pemerasan   dan   bertujuan   untuk   meningkatkan
                  kesejahteraan  masyarakat  hukum  adat  setempat.  Dengan  adanya
                  tuntutan  ganti  rugi  atau  kompensasi  oleh  masyarakat  hukum  adat
                  terhadap   para   pemegang    HPH/IUPHHK,      Gubernur    atau
                  Bupati/Walikota  dapat  memfasilitasi  pertemuan  antara  pihak  yang
                  bersangkutan  untuk  penyelesaian  dengan  cara  musyawarah  dan
                  mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya
                  disarankan  dilakukan  melalui  proses  pengadilan  dengan  mengajukan
                  gugatan secara perdata melalui Peradilan Umum
                         Hanya  HPH/IUPHHK  yang  diatur  cara  penyelesaian  sengketa
                  dengan masyarakat hukum adat, demikian juga HGU perusahaan sawit
                  dan  karet  dapat  di  selesaikan  dengan  mekanisme  di  atas.  Akan  tetapi
                  kebun  masyarakat,  pemukiman,  tanah-tanah  yang  sudah  ada
                  kepemilikan  dan  penguasaan  oleh  masyarakat  seyogyanya  harus
                  dikeluarkan dari klaim wilayah adat yang di ajukan oleh masyarakat adat
                  Talang Mamak.
                         Pada dasarnya hubungan masyarakat adat dengan sumber daya
                  alam, lingkungan atau wilayah kehidupannya lebih tepat dikategorikan
                  sebagai  hubungan  kewajiban  daripada  hak.  Hubungan  tersebut  baru
                  dikategorikan sebagai hak bila mereka berhubungan dengan pihak luar,
                  baik itu komunitas lain, pengusaha bahkan dengan pemerintah. Ketika
                  berhubungan dengan pihak luar, maka konsepsi tentang hak kemudian
                  menjadi  sesuatu  yang  bermuatan  politis  yang  diperebutkan  sekaligus
                                                        29
                  menjadi objek pengaturan di dalam hukum.
                         Salah  persepsi  selama  ini  bahwa  kondisi  obyektif  masyarakat
                  adat  yang  terpuruk  dikarenakan  semata-mata  oleh  pemerintah,  tetapi
                  kenyataannya  ada  faktor-faktor  internal  yang  menjadi  pemicu
                  ketidakberdayaan  bagi  masyarakat  adat,  seperti:  (1)  Lemahnya
                  penguatan  organisasi  lokal  dan  aturan  main;  (2)  Tidak  memiliki
                  kepemimpinan  yang  kuat  dan  dapat  diterima  oleh  semua  ‘faksi’;  (3)
                  Rendahnya  komitmen  dan  konsistensi  untuk  memperjuangkan
                  kepentingan  masyarakat  adat;  (4)  Rentan  menghadapi  tekanan  modal
                  lokal, nasional, regional dan global atas sumberdaya alam yang ada, dan
                  (5)  Tidak  berdaya  bernegosiasi  dengan  pemerintah  daerah  untuk
                  mempersiapkan  Perda  yang  memihak  eksistensi  dan  hak-hak
                                30
                  masyarakat adat.

                29  Yance Arizona, Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend legislasi
             nasional tentang keberadaan dan hak‐hak masyarakat adat atas sumber daya
             alam di Indonesia (1999‐2009), Kertas kerja EPISTEMA No. 07/2010, hlm, 43.
                30  John Haba, op. Cit., hlm. 272.

                                              128
   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142