Page 16 - Mereka yang Dikalahkan, Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang
P. 16
Mereka yang Dikalahkan xv
tahun 1998. Negara korporatisme sudah tidak ada, Negara otoritarian
sentralistik sudah meluruh pudar. Wajah Negara pasca Orde Baru
sampai derajat tertentu memang lebih bersuasana demokratis
meski masih dalam taraf prosedural saja, belum bersifat substantif.
Desentralisasi–otonomi daerah diintroduksikan menggantikan
faham sentralisme yang serba terpusat karena dinilai telah memadai
lagi untuk mengimbangi dinamika ekonomi–politik. Pluralitas
kekuatan politik merebak di berbagai aras kehidupan menggantikan
kekuatan politik lama Orde Baru yang terkonsentrasi di tubuh
Birokrasi dan militer.
Namun semua proses tersebut belum mendorong Indonesia
sebagai Negara demokrasi nomor tiga terbesar di dunia berhasil
mengkonsolidasikannya dengan baik. Ada berbagai narasi besar
untuk menjelaskan alasan-alasan terakhir ini. Namun yang pasti
tersebarnya pusat-pusat kekuatan politik di berbagai aras baik
vertikal maupun horisontal sebagai dampak praktik demokratisasi
justru di sana-sini menimbulkan distorsi dan sampai derajat tertentu
menyuburkan neo feodalisme dan patrimonialisme serta yang tak
kalah penting gencarnya praktik neo liberalisme.
Hal demikian itulah yang kini menghadirkan tampilnya
pemodal-pemodal kuat lebih kokoh dalam berbagai kancah politik
utamanya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pemilihan
presiden (Pilpres) kala mengusung dan mendukung calon-calon
tertentu. Sebagai konsekuensinya cetak biru sistem demokrasi
dan good governance (kini plus Nawacita) tampil ibarat macan tak
cukup punya gigi menghadapi merebaknya kuasa-kuasa ekonomi
dalam praktis perampasan tanah (land grabb) berskala besar. Para
pemodal kuat ini notabene adalah salah satu aktor amat penting
dalam menentukan arah proses konsolidasi demokrasi yang berjalan
saat ini. Bagaimana kiranya memastikan arah itu semua dalam
koridor politik agraria-tata ruang, dan penataan pertanahan yang