Page 16 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 16

keluarganya.” Ketentuan tersebut merupakan penegasan bahwa UUPA
            mencerminkan kesetaraan jender  yang memastikan bahwa laki-laki
            dan  perempuan memiliki  hak  yang  sama. Penegasan itu  penting
            untuk  mengatasi  kamuflase  netralitas  legislasi yang sejatinya adalah
            maskulin. Namun hingga saat ini belum ada penjabaran lebih jauh di
            dalam  peraturan di  bawah  UUPA  terkait  penguatan  hak  perempuan
            di  bidang  pertanahan  seperti kesetaraan  untuk memperoleh hak
            milik atas tanah, pewarisan, perlindungan dari sistem patriarki adat,
            keterlibatandalam pengambilan keputusan, dan reforma agraria (Yance
            2017). Pola kepemilikan tanah juga cenderung merugikan perempuan:
            Pasal  35  undang-undang  perkawinan (1974)  memungkinkan
            kepemilikan bersama atas properti, tetapi kenyataannya banyak harta
            masih terdaftar atas nama suami (DownToEarth 2017). Perempuan dan
            laki-laki  di  kampung banyak  yang berhadapan  dengan  perampasan
            lahan dan pemiskinan akibat reorganisasi ruang menjadi kebun sawit,
            pertambangan, hak penguasaan hutan, hutan tanaman industri, dan
            cetak sawah. Mereka menjadi korban perusahaan bersama para politisi,
            militer,  polisi  dan  preman  (PejuangTanahAir  2017).  Contoh  kontras
            persoalan jender dalam memperoleh akses hak atas tanah selama ini
            sebagaimana adat yang sudah berjalan di Bali dan masyarakat Minang
            di Sumatera Barat. Pada masyarakat Minang di Sumatera Barat, sistem
            matrilinear  yang mengatur  garis keturunan berasal  dari  pihak ibu
            menempatkan anak  perempuan  sebagai ahli  waris dalam  keluarga,
            berbanding  terbalik  dengan  di  Bali  (Atmazaki  2007).  Bukan  hanya
            relasi yang bersifat tradisi, namun relasi kekuasaan berbasis jender juga
            banyak dijumpai di masyarakat lain.
                   Menanggapi  hal tersebut diperlukan  kontribusi dari segenap
            elemen bangsa, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh para
            pemuda, khususnya  para mahasiswa  untuk berpikir  dan bertindak
            dalam menanggapi problematika tersebut. Untuk kemudian menjadi
            gagasan  bagi  pengelolaan agraria/pertanahan dan  tata  ruang  yang
            memakmurkan dan  menentramkan  yang diwadahi  salah  satunya
            melalui kegiatan Lomba Esai Agraria Tingkat Nasional.

                                         xvi
   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21