Page 202 - Mozaik Rupa Agraria
P. 202
Militansi Tanpa Batas Para Penyintas
Sunarsih (69), pensiunan PNS, membutuhkan tanah
untuk tempat tinggal bagi keluarganya di Yogyakarta. Di kota
yang sama, Budi Susilo (46) membutuhkan tanah untuk usaha
tokonya. Di Wates, Sofyan (35) membutuhkan tanah untuk
bertani. Setiap orang membutuhkan tanah sebagai ruang hidup
dan sumber penghidupan. Sehingga, hak atas ruang hidup dan
sumber penghidupan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Negara
telah menjamin HAM dan Hak atas Tanah bagi setiap Warga
Negara Indonesia (WNI) melalui UU Dasar Republik Indonesia
(Konstitusi) dan UU Pokok Agraria (UUPA). Hak-hak itu dimiliki
oleh setiap WNI, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama,
dan jenjang sosialnya.
Menurut Peraturan Pemerintah No 38 tahun 1963, Hak Milik
(HM) atas Tanah juga dilekatkan pada Badan Hukum, antara lain
Koperasi Pertanian, Yayasan Keagamaan, Yayasan Sosial, dan Bank
Pemerintah. Selain Badan Hukum yang ditunjuk PP No 38 Tahun
1963, badan hukum negara dan swasta hanya dilekati HGB, Hak
Pakai (HP), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pengelolaan (HPL).
Sebagai pengecualian, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman diubah kedudukan hukumnya dari Badan Hukum
Swapraja menjadi Badan Hukum yang dapat dilekati Hak Milik
atas Tanah, diatur melalui UU Keistimewaan DIY. Badan Hukum
Swapraja tidak diperkenankan mempunyai HM atas tanah karena
ditetapkan oleh negara melalui UUPA sebagai perpanjangan
kolonial dan sistem feodal, hal ini berlaku di seluruh Indonesia.
Meskipun demikian, UUPA mengatur penguasaan dan
pemilikan tanah tidak diperbolehkan melampaui batas karena
tanah mempunyai fungsi sosial. Setiap WNI dan Badan
Hukum tidak diperkenankan memonopoli tanah, sebab
negara membutuhkan wilayah dengan status Tanah Negara,
Hak Asasi Manusia dan Agraria 189