Page 180 - Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris
P. 180
Penguasaan Tanah dan Kelembagaan
Jawa tidak mempunyai tanah bengkok. Di desa-desa tanpa
tanah bengkok ini, “gaji” pamong desa bersumber dari sum-
bangan para “penduduk-inti”, yang biasanya berupa padi,
yaitu yang disebut pancen.
Sesudah diundangkannya UUPA-1960, maka tanah
gogolan, norowito dan sebagainya diubah statusnya menjadi
hak milik perorangan dan diberikan kepada pemegang hak
pakai yang terakhir. Sedangkan tanah titisara dan tanah
bengkok tetap diakui adanya.
Demikianlah bentuk-bentuk penguasaan tanah tradisional
yang walaupun status hukum formalnya sudah diubah, namun
masih banyak dijumpai di desa-desa di Jawa sebagai hal yang
berlaku.
Dalam hubungan ini ciri lain masyarakat pedesaan Jawa
ialah bahwa penduduk desa terbagi menjadi lapisan-lapisan
yang didasarkan atas perbedaan hak atas tanah serta kewajiban-
kewajiban yang menyertainya (kerja-wajib, pembayaran pa-
jak, dan sebagainya). Banyak sumber menyebutkan hal itu.
14
Lapisan pertama terdiri dan “penduduk inti”, yaitu mereka
yang nenek-moyangnya dulu merupakan pemukim pertama
di daerah itu atau pembuka tanah di situ. Karena itu mereka
umumnya mempunyai tanah yasan, mempunyai pekarangan
dan rumah sendiri. Dan kepada mereka inilah prioritas perta-
ma diberikan untuk memperoleh hak menggarap tanah go-
golan. Karena itu mereka ini juga disebut sebagai gogol, kuli
14 Antara lain, lihat J.M. van der Kroef, “Land Tenure and Social
Structre in Rural Java,” dalam Approaches to Community Develop-
ment, Jilid 25, Bab IV, 196.
111