Page 196 - Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris
P. 196
Penguasaan Tanah dan Kelembagaan
ada di bawah garis kemiskinan masih cukup besar, yaitu di
atas 40%. Bahkan di beberapa desa jumlahnya lebih besar dari
50%.
Dan kalau kita lihat penyebaran keluarga miskin menurut
luas pemilikan tanah, ternyata pula bahwa dalam strata pemi-
likan tanah yang lebih rendahlah terdapat proporsi keluarga
miskin yang lebih besar (lihat Lampiran 5.5). Jadi sekali lagi
hal ini membuktikan bahwa walaupun proporsi pendapatan
dari sektor nonpertanian lebih besar daripada sektor pertanian,
pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan.
Ini berarti bahwa jangkauan terhadap sumber-sumber di luar
sektor pertanian lebih dimiliki oleh pemilik tanah luas. Sedang-
kan di lain pihak, seperti telah diuraikan di muka, kesempatan
para tunakisma untuk memperoleh tanah garapan cenderung
menurun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walau-
pun tunakisma dapat menguasai tanah melalui penyakapan
(bagi hasil, sewa-menyewa, dan sebagainya) dan pemilik dapat
menjadi bukan penggarap, namun langsung atau tidak langsung
pemilikan tanah merupakan faktor yang turut menentukan
tingkat hidup di pedesaan.
Demikianlah, dari gambaran di atas dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan UUPA memang belum sempurna. Namun
di lain pihak, khususnya di daerah areal tebu, sistem gogolan
nampaknya mempermudah pengaturan penggunaan tanah.
E. Kelembagaan Penguasaan Tanah dan Perubahannya
Dalam bagian ini diuraikan berbagai kebiasaan atau cara-
cara setempat untuk mengatur penguasaan dan pengusa-
haan tanah, yang berlaku di desa-desa yang diteliti, yaitu
127