Page 89 - Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris
P. 89
Ranah Studi Agraria
tani yang tak punya tanah berbondong-bondong menjelajahi
daerah pedesaan di Jawa, mengikuti musim dan tempat panen
dari Timur ke Barat, dan kemudian kembali lagi pada musim
berikutnya ketika padi di sawah mulai menguning lagi” . Di
2
lain pihak, penebas bisa membatasi bahkan memilih tani peng-
garap panennya, menyuruh mereka menggunakan alat sabit,
mengurangi jumlah bagian hasil panen yang biasanya diterima,
menimbang setiap ikat padi yang dipotong penggarap dan
membayar mereka dengan uang tunai. Jika petani-pemilik
tidak menjual tanaman garapannya kepada penebas, sudah
tentu ia tidak bisa menurunkan biaya-biaya tersebut. Jika masa
panen tiba, banyak sekali terjadi ketegangan antara buruh tani
yang memotong padi dengan pemilik sawah, karena para
pemotong padi selalu berusaha meningkatkan jumlah bagian
hasil panennya sedangkan pemilik berusaha menekannya. Para
petani pemilik secara tradisionil mempunyai kewajiban sosial
terhadap para tani penggarap tersebut, yang dengan demikian
tidak memungkinkan pemilik sawah melakukan kontrol yang
efektif terhadap hasil panennya dan tak bisa membatasi jumlah
kerugian yang dideritanya. Sebaliknya, para penebas lebih di-
anggap sebagai pedangan-perantara yang tidak terikat oleh
kewajiban-kewajiban tradisional yang berlaku di kalangan
masyarakat desa setempat. Seperti diungkapkan oleh Utami
dan Ihalauw, “Masalah paling gawat yang ditimbulkan oleh
sistim tebasan ialah bahwa sistim itu cenderung membebaskan
2 Richard William Franke, “The Green Revolution in a Javanese
Village”, thesis Ph.D (tidak diterbitkan), Harvard University, 1972,
hal. 181.
20