Page 400 - (New Flip) Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
P. 400
Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
56 Ibid., hlm: 209.
57 Menyusul pula penahanan aparat sipil (KNI) di Lombok yaitu Hasmosuwignjo,
Soewodjo dan Wayan Roema, Kempen RI, Sunda Ketjil, (Djakarta: Kempen
RI, 1953), hlm: 114; G. Robinson, loc.cit.
58 Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (Jakarta: Grafiti
Pers, 1989), Bab 5, Bab 8; Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan
Hancurnya Kerajaan di Sumatera (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), Bab VI, Bab
VII dan Bab VIII; James C. Scott (Penyunting), op.cit., hlm: 26-28.
Kahin, Audrey R., Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti,
1980, hlm: 12-16; A.H. Nasution, 3, Diplomasi Sambil Bertempur, op.cit.,
hlm: 304; The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, I,
(Jakarta: Gunung Agung, 1967), hlm: 133.
60 Persoalan ―non‖ dan ―co‖ terinspirasi dari gerakan non-cooperative Mahatma
Gandhi di India. Di Indonesia menjelma menjadi taktik kaum pergerakan
nasional, organisasi-organisasi pergerakan yang mau bekerjasama
(cooperative) dan menolak (non-cooperative) dengan pihak pemerintah
berkuasa Belanda. Kedua kelompok ini bercita-cita sama yaitu kemerdekaan
Indonesia, Susanto Tirtoprodjo, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
(Jakarta: Pembangunan, 1970), Bab III. Konsep ―non‖ dan ―co‖ sesudah
kemerdekaan tercapai menjadi konflik kepentingan bagi pendukungnya.
Konfliknya tidak lagi taktik, tetapi menyangkut ―prinsip‖ antara golongan
―non‖ membela, memertahankan kemerdekaan dengan golongan ―co‖
yang bekerjasama dengan rekolonialisasi Belanda yang tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia selama periode revolusi nasional Indonesia, Susanto
Tirtoprodjo, Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia (Djakarta: Pembangunan,
1966), Bab II.
61 Golongan-golongan pemuda revolusioner muncul menjelang proklamasi
kemerdekaan dan peranannya di Jakarta dijelaskan oleh Adam Malik,
Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakarta: Widjaja, 1975), hlm: 29-37.
Golongan ―co‖ dari aristokrat tradisional, raja-raja swapraja, sebagian besar
menyatakan mendukung kembalinya kekuasaan Belanda NICA pada tanggal
29 Maret 1946. Raja-raja dengan pasukan milisi kerajaannya yang anti
Republik: BKN di Klungkung, PPN di Gianyar, AIM di Karangasem, Anti
Pemberontak (AP) dari Sangsit, Buleleng, yang jelas-jelas membantu tentara
NICA melawan perjuangan pemuda, mendorong terjadinya kontak senjata
yang terus menerus di seantero Bali, Nyoman S. Pendit, op.cit., hlm: 161-
167.
62 Adam Malik, loc.cit., C. Tilly, The Vendèe (Cambridge: Harold Univ. Press,
1994), Chap. 13 dan Chap. 9; C. Tilly, From Mobilization to Revolution
(Michigan: Ann Arbor, 1978), Bab 7; W.F. Wertheim, Gelombang Pasang
388