Page 127 - 3 Curut Berkacu
P. 127

 Pasar Senen di Hari Minggu 109
tenang dan langsung panik. Gue menyadari kelemahan gue yang satu ini.
Gue jadi inget, saat masih kecil dulu kalau diomelin nyokap gue, dia menyebut gue seperti ‘gosokan’, karena tidak pernah bisa diam, apalagi kalo lagi ngembek atau marah, gue bisa mondar-mandir gak karuan mengelilingi seluruh sudut-sudut rumah, dan wajah putih gue ini berubah memerah, memang layaknya ‘gosokan’ panas gitu deh.
Jantung gue semakin berdegub kencang, hati kecil gue berbisik “mampus dah gue, mampus dah gue, mampus dah gue.”
“Baaaalllll, gimana ini, Bal, bantuin gue dong, aduh... pusing banget gue, arggghh!” keluh gue setengah merengek memohon bantuan Iqbal, kayak bocah yang merengek minta ‘nenen’ ke mamanya tapi yang disodorin malah ‘nenen’ bapaknya. Kejam, hahaha!
Gue sempat ‘piktor’ alias berpikiran kotor, gue melipat kembali celananya dan ngaku aja celananya gak cocok terus gue kembalikan atau gue bilang kalo celananya cacad dan minta celana lain.
“Ya udah, Yu, saran gue, mending jujur aja ke ibunya, insya Allah gak akan marah kok ibunya kalau lu jujur, percaya deh!” saran Iqbal mencoba menenangkan gue. “Tapi tetap dibayar, Yu!” sambung Bima. “Oh iya, pasti dong, Bim,” sahut Iqbal lagi sambil ‘nyengir’.
“Ah, kampret! Serius! Jadi gimana ini, Bal?” tanya gue lagi dengan tegas.
“Ya, mau gimana lagi, Yu, kalau sudah robek!” jawab Iqbal.


























































































   125   126   127   128   129