Page 143 - 3 Curut Berkacu
P. 143
Keberangkatan Curut ‘ngik-ngik’ 125
Bima kelihatannya tidak terlalu menanggapi gue dengan serius. Dia yang sejak tadi hanya duduk di atas trotoar di pinggiran parkir kemudian berdiri menghampiri gue, “nih!” menyodorkan kue gemblong dari tangan kanannya. “Lu makan sudah! Ini bukan gemblong biasa, rumornya bisa mengatasi anak yang ‘pecicilan’ kayak lu jadi diam beku, kayak orang kena struk!” gumamnya bergurau, gue jadi malu sendiri dengan sindirannya itu.
“Sudah susah kayaknya, Bim, mau lu kasi gemblong tiga kali lipat mujarab juga gak bakal mempan, itu udah setingan pabriknya, Bim,” Iqbal yang berada dekat kami ikut menimpali.
“Bisa jadi, Bal! seru gue mendengar Iqbal ngomong itu.
“Kata emak gue, saat gue di kandungan, emak gue ngidamnya bebersih rumah, dan bawaannya gak bisa diem!” jelas gue.
“Masa sih, Yu? Gue kira emak lu ngidam mainin bola bekel bapak lu, makanya gak enak diem!” celetuk Bima terbahak-bahak. Iqbal yang sejak tadi kalem saja ikut terbahak-bahak. Gue berusaha tersenyum meskipun kata- kata itu menyinggung berat gue. ‘It’s ok! Kalau gini mah wajar, Yu, dalam pergaulan, apalagi kalau cowok-cowok kayak gini lagi ngerumpi,’ bisik gue dalam hati.
Kue gemblong yang sejak tadi di tangan, gue mulai gigit perlahan. Gigitan pertama, gue merasakan hiperaktivitas gue hanya tertuju pada satu titik saja, di mulut. Pecicilan gue seakan anjlok seketika ke titik nadir. Bima benar! Kue gemblong ini memang nikmat, berbeda dari kue gemblong yang biasa gue makan.
***