Page 170 - 3 Curut Berkacu
P. 170
152 3 Curut Berkacu
sarung.
Gue bersama seluruh peserta lainnya menyambut
pagi dengan senam kebugaran yang diiringi lantunan syair-syair kepanduan. Raut berseri-seri terlukis di setiap wajah kami, lelah sepanjang hari kemarin telah terkubur selamanya seiring berlalunya masa. Sesekali gue palingkan wajah melihat ke arah depan tenda utama, beberapa senior sedang menyiapkan sarapan; nasi, sarden, dan susu. Meskipun cukup jauh untuk dapat menghirup aroma sarden itu, tapi rasanya gue sangat paham betul dengan aroma lauk satu ini. Terbayang lezatnya sarden dengan kuah kental kemerahan, maknyus dah! Ini salah satu lauk andalan gue saat ‘bokek’ melanda.
“Heeemmmm...,” Bima menarik nafas sangat dalam saat kami berkumpul kembali dalam sebuah barisan melingkar seusai senam pagi dan berbenah.
“Wah, kayak ada cacing ngambek ya,” celetuk Iqbal dengan senyum khasnya. Senyum ini tak pernah membuat gue bosan. Entah, ada daya tarik tersendiri dalam muatan senyum itu. Senyum itu selalu membuat gue bersemangat dan termotivasi.
Bima dan kawan-kawan lain yang mendengar celetukannya tertawa, ada juga yang ikut tertawa tanpa tau apa yang ditertawakan. Akhirnya suasana menjadi riuh. Gue mamandangi setiap wajah-wajah dalam barisan melingkar ini, tertawa sangat riang. Gue merasakan aura kekeluargaan yang sangat kental.
Di tengah keriuhan, seorang pembina muncul dari balik tenda utama, berjalan menuju tengah lingkaran baris, mempersilahkan kami untuk memulai ritual sarapan pagi.