Page 290 - 3 Curut Berkacu
P. 290

 272 3 Curut Berkacu
berkumpul di lapangan, berarti push-up sepuluh seri atau sama dengan seratus kali naik turun. Ya ampun, malam- malam buta gini sudah basah, kini disuruh push-up lagi. Tapi bukan anak Pramuka namanya kalau mengeluh! Kami tetap menjalaninya dengan ikhlas.
Tanpa diperintah, gue pun berinisiatif memandu perhitungan push-up hingga menyelesaikan hitungan keseratus. Setelah itu, kami diperintahkan membuat satu banjar memanjang, padahal rasa keram sisa push-up tadi belum juga pulih. Kami juga diminta untuk membuka kacu masing-masing dan mengikatkannya di kepala orang di depan kami untuk menutup matanya. Hanya orang paling belakang saja yang tidak.
“Dengar! Tugas orang yang paling belakang adalah sebagai komando kalian, yang memberikan arah kemana harus melangkah. Tidak boleh terputus dan tidak boleh ada yang tertinggal. Jika ada yang putus dan tertinggal, berarti tanggung jawab pemberi komando karena tidak becus memberikan perintah!”
Suara dengan nada ketus memberikan pengarahan tentang apa yang harus kami lakukan selanjutnya. ‘Rasanya seperti permainan anak Siaga umur 7 tahunan,’ gumam gue dalam hati merespon nada ketus senior ini.
Kami pun mulai berjalan, melangkah perlahan namun pasti. Memang, menjaga kekompakan dengan mata tertutup bukan hal yang mudah. Dengan mata terbuka saja belum tentu tidak sulit, apalagi ini di tengah malam gelap gulita dan mata tertutup pula. Kami hanya mengandalkan indra pendengaran untuk menerima arahan dari komando yang ada di barisan paling belakang. Sesekali barisan terputus,





























































































   288   289   290   291   292