Page 59 - 3 Curut Berkacu
P. 59
Curut Ngelantur 41
tidak, selain bahwa malam adalah ‘jam kerja’ kaum curut, juga karena siapa saja yang tidur duluan akan menjadi bulan-bulanan untuk dijadikan objek dan media kreativitas menggambar.
Kami memutuskan untuk keluar sejenak. Mencari angin sebelum tidur.
Malam itu cukup berawan, bulan juga bersinar malu- malu, sesekali ngumpet di balik awan malam, seakan main ‘cilukba-cilukbaan’ dengan gue.
Di pinggir Jalan Baru, di sebuah angkringan yang tidak jauh dari Perumahan Duren Jaya Bekasi Timur; gue, Iqbal, dan Bima, layaknya anak remaja 16 tahunan yang baru masuk masa puber sedang menikmati gorengan panas dan susu jahe.
Bima memanjakan kami dengan petikan gitarnya. Bima memang dikenal pandai memainkan alat musik gitar. Bagi gue, setiap petikannya syahdu dan indah, tapi tak seindah wajahnya. Bima pernah cerita kalo dia memiliki cita-cita bisa berprestasi di dunia musik. Dia pengen banget punya band dan bisa memainkan lagu ciptaannya sendiri. Meskipun Bima dengan penampilannya yang abstrak dan gak karuan, gue selalu bangga dengan semangat dan motivasi hidupnya yang kuat.
“ihà...anaksekecilituberkelahidenganwaktu, demi satu impian nana nanana nanana... àhi“
Begitulah kira-kira lirik lagu ciptaan Iwan Fals yang gue lantunkan dengan iringan petikan-petikan gitar Bima. Sejujurnya, gue gak bisa nyanyi loh. Terlebih lagu-lagu latin. Lidah gue sudah terbiasa dengan melantunkan lagu Arabi,