Page 93 - 3 Curut Berkacu
P. 93

 Kakek Sotoy 75
keempat dari tujuh bersaudara,” lanjutnya. Gak penting banget sih, pikir gue. “Di jaman saya dulu, juga ada Pramuka, saya juga dulu sama seperti kalian, gituuuu...” jelasnya dengan mesem.
Gaya ocehan si pria tua ini membuat gue hanya bisa mesem, Bima juga ikut mesem, Iqbal hanya diam tanpa mimik. Melihat wajah lucu Bima yang mesem-mesem tanggung, memaksa gue mulai tertawa. Bima ikut mulai tertawa. Tawa kami tertahan agar tidak menjadi perhatian yang lain, Bima mencubit paha gue seakan mencoba membungkam tawa, gue balas juga dong!
“Kita ngetawain apa sih, Yu?” tanya Bima masih mesem.
“Lah, lu pagimana, Bim? Trus nape lu ikut ketawa, peleh!” jawab gue yang langsung ditanggapinya, “iya ya, hihihi...,” dengan suara tertahan. Gantian gue yang nyubit paha dia duluan. Aneh, masa bekas cubitan gue dia garuk. Bukannya nyubit itu sakit, bukan gatal. Suasana menjadi geli dan receh aja sih. Tawa gue dan Bima bukan lagi karena si pria tua itu, tapi karena tingkah gue dan Bima yang semakin receh.
“Pffff... huahahaha...,” akhirnya tawa Bima lepas juga, tak sanggup ditahan lagi. Semua menengok ke arah kami. Seketika Bima diam seribu kata. Tak lama kemudian, ia berbisik “waduh gawat, Yu... gue kelepasan,” sambil mencolek pinggang gue.
“Mampuslah kau, Bim! Tuh, diliatin Kak Afif lu, Bim!” bisik Iqbal meledek.
“Yassalaamu’alaikum...” gerutu Bima berusaha tenang. “Wa’alaikumusalaan,” balas gue spontan.



























































































   91   92   93   94   95