Page 24 - deCODE Vol 1/2018
P. 24
deReport
Pada 16 Maret 2017 yang lalu, BEM FISIP Universitas Al- Azhar Indonesia mengadakan
Kurnia Widodo, yang juga memiliki pengalaman sebagai mantan narapidana yang dipenjara karena kasus bom rakitan, memiliki motivasi serupa. Ia ingin berpartisipasi menyadarkan masyarakat tentang bahaya media ketika tidak disikapi dengan niat baik. Menurut Kurnia, motivasinya membuat bom rakit karena ajakan yang disebarluaskan oleh kelompok ISIS. Media sosial pun dapat menjadi sebuah peluang untuk menyebarluaskan ajaran aliran radikal yang dapat merusak moral dan perilaku masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat menyebabkan rusaknya generasi-generasi muda mendatang yang dipengaruhi
oleh berbagai berita hoax yang tidak diperiksa dengan baik dan benar.
Selain masalah persekusi menggeruduk pengguna media sosial untuk tujuan menekan dan mengintimidasfenomena hoax akhir-akhir ini memang sangat memprihatinkan. Bahkan Presiden Negara Republik Indonesia, Joko Widodo sampai ‘kehilangan kesabaran’ dengan mengatakan agar masyarakat Indonesia selalu berhati-hati dan tidak mudah percaya kepada berbagai sumber berita yang disebarkan melalui media sosial.
Belakangan,Presiden yang sebelumnya tak pernah mengomenrasi salah satu tuduhan tanpa data akurat bahwa dirinya
terindikasi PKI, secara tegas
bahkan menantang siapa saja untuk menunjukkan fakta. Di sebuah kesempatan, Presiden menegaskan bahwa dirinya dan keluarga sama sekali tidak ada kaitan dengan
PKI seperti sempat didengungkan sejumlah orang tanpa duku-ngan fakta yang jelas. Menurut Blontank Poer, seorang blogger, “Media sosial dan terlebih lagi hoax dapat merubah jati diri masyarakat, tetapi di satu sisi masyarakat membentuk suatu komunitas untuk gerakan internet positif untuk tujuan menghindarkan masyarakat dari berbagai hoax dan hasutan yang telah memecah belahkan masyarakat Indonesia.”
Kampanye Hitam dan Perilaku Pemilih Usep S Ahyar, Direktur Populi Center mengatakan bahwa “Media mempunyai dua sisi yang berbeda, yaitu positif dan negatif. Kedua hal tersebut memberikan berbagai akibat yang untung dan rugi. Kampanye berpeluang untuk memilih seorang pemimpin yang rasional. Masyarakat Indonesia rata- rata tidak memperdulikan seorang pemimpin yang berasal dari suku mana atau agama apa. Masyarakat hanya akan melihat visi dan misi seorang pemimpin tersebut. Apakah visi pemimpin tersebut memberikan suatu hal yang logis dan rasional dan apakah ia mempunyai misi
yang berbeda dari para pemimpin sebelumnya”. Ia berpendapat bahwa kampanye hitam dan negatif mempunyai dua arti yang berbeda.
seminar yang bertema Etika
Dalam Media Sosial: “Kampanye, Media Sosial, dan Hoax”. Acara
ini diselenggarakan bekerjasama dengan Populi Center dan BEM FISIP UAI, bertempat di Ruang Auditorium Arifin Panigoro, menghadirkan Edy Prayitno, Kurnia Widodo (keduanya aktivis literasi media), peneliti Populi Center Usep S Ahyar, Ryan Ariesta dan aktivis literasi media khususnya media digital, Damar Juniarto.
Edy Prayitno yang mempunyai julukan sebagai “Matahari Timoer” merupakan seorang mantan aktivis organisasi radikal Indonesia dan kini bertekad membantu masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan berbagai berita hoax yang terjadi di Indonesia, menyarankan masyarakat agar selalu bersikap positif dan selalu menjaga privasi dalam media sosial. Ia percaya bahwa masyarakat Indonesia sekarang terlalu sering menyebarkan informasi pribadinya ke media sosial, yang menyebabkan berbagai isu dan masalah dapat terjadi di media sosial. “Semakin banyaknya konten positif, semakin besar tingkat positif masyarkat. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan lentera maya yang berguna untuk menghindarkan masyarakat dari kegelapan internet, hoax, dan radikalisme,” ujar
Edy.
Etika Bermedia Sosial MAHASISWA, HARUS CERDAS MEMBACA BERITA
Penting, mengingat siapa saja terutama mahasiswa agar cerdas membaca berita. Lebih pen-ting, memastikan untuk tidak menjadi bagian dari meruyaknya penyebaran berita bohong yang merugikan banyak orang, bahkan bangsa ini secara keseluruhan.