Page 117 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 117
tengah antara sebagai ombudsman dan sebagai opheffer (perusuh). Dia adalah sumber
informasi bagi penduduk, juga dalam perihal keagamaan. Dia mendengarkan kekesalan dan
keluhan mereka dan membantu mereka, jika mungkin, dalam mencari jalan keluarnya.
Melalui kenalan di semua jajaran masyarakat, ia membangun sebuah jaringan yang
memungkinkannya untuk memahami suasana, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah. Dari pengetahuan yang didapat, ia mencoba untuk mempengaruhi kebijakan.
Oleh karena munculnya dan berkembangnya berbagai perhimpunan pribumi, maka tugas-
tugasnya makin bertambah. Yang menjadi pegawainya adalah para pakar Indonesia dan Arab.
Seorang ahli hukum dari Arab, Sayyid ‘Uthmân, sudah bekerja untuk kantornya lebih dari 20
tahun (1891-1914) sebagai adviseur-honorair (penasihat honorer) untuk Urusan Arab. Pada
tahun 1917 keterlibatan penasihat di bidang bacaan rakyat berakhir ketika tugas itu
dipindahkan ke lembaga yang terpisah. Penasihat itu secara administratif berada di bawah
direktur dari Departement van Onderwijs, Eredienst (en Nijverheid) / OE(N) (Departemen
Pendidikan, Ibadah, dan Industri Kerajinan). Ia mengajukan laporan tahunannya kepada
direktur OE(N) ini.
Setelah tahun 1920 pengaruh politiknya secara bertahap berkurang. Perhimpunan-
perhimpunan pribumi memegang peran dari biro penasihat dan penampung keluhan. Badan-
badan perwakilan seperti Volksraad (Dewan Rakyat) sudah memiliki anggota orang
Indonesia. Jumlah orang Indonesia yang bekerja pada dinas pemerintahan atau dalam bidang
usaha swasta meningkat. Krisis ekonomi tahun 20-an dan 30-an memaksa pemerintah untuk
melakukan penghematan yang drastis dalam pengeluaran pemerintah. Dalam bidang politik
ditekankan kebutuhan akan ketenangan dan ketertiban sebagai kondisi yang sangat diperlukan
untuk meningkatkan kemakmuran. Pada tahun 20-an pemogokan dan pemberontakan ditindak
keras (1926-1927).
Gubernur-Jenderal A.C.D. de Graeff (1926-1933) mencoba memecahkan masalah jurang
pemisah yang semakin tumbuh antara masyarakat Eropa dan Indonesia, antara lain dengan
memperkuat posisi penasihat untuk Inlandse Zaken (Urusan Pribumi). Dengan
Gouvernementsbesluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 14 Agustus 1931 (Bijblad no. 12630),
jabatan itu ditempatkan langsung di bawah penguasa negeri. Pejabat itu boleh
berkorespondensi langsung dengan otoritas sipil dan militer. Ia harus selalu tahu tentang
tindak-tanduk masyarakat Arab di Hindia-Belanda, dan ia harus mempelajari perkembangan
intern Islam dalam konteks internasional. Namun, instruksi baru itu hampir tidak memberikan
efek politik.
Frustrasi atas keadaan ini diungkapkan oleh R.A. Kern yang menjabat fungsi itu pada masa
Gubernur-Jenderal D. Fock (1921-1926). Pada waktu itu ia menyimpulkan bahwa nasihat dari
Procureur-Generaal (Jaksa Agung) lebih dihargai daripada nasihatnya. Dalam obituari tentang
penggantinya E. Gobée (Penasihat 1926-1937 ), ia menulis:
Men kan zich voorstellen, dat een GG, die met begrip en sympathie tegenover het
nationalisme staat, er prijs op zal stellen het advies van de adviseur te vernemen, maar dat
omgekeerd een ander, die het de juiste weg vindt het land als een politiestaat te regeren, geen
116