Page 123 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 123
pelestarian warisan budaya: Brits-Indië (Hindia-Britania) adalah yang menjadi teladannya.
Bahwa Hindia-Belanda terwakili di Koloniale Wereldtentoonstelling (Pameran Kolonial
Dunia) di Paris pada tahun 1900 dianggapnya sebagai langkah menuju arah yang baik. Di
pameran itu antara lain diperlihatkan sebuah model candi Buddha dengan cetakan gips dari
candi Borobudur.
Atas pertanyaan Menteri Urusan Tanah Jajahan J.Th. Cremer (1897-1901) pada bulan
November 1899, Gubernur-Jenderal W. Rooseboom (1899-1904) beberapa bulan kemudian
mengakui bahwa ada yang ‘heel wat meer’ (lebih banyak lagi) yang bisa dilakukan untuk
benda purbakala Hindu di Jawa ‘zonder in overdaad te vervallen’ (tanpa menjadi berlebih-
lebihan). Gagasan mantan Direktur O&E W.P. Groeneveldt mendapatkan tempat, yang
menyatakan bahwa Belanda harus menganggap dan memperlakukan benda purbakala Hindu
sebagai benda purbakala 'nasional' karena kepulauan Hindia ‘een zoo belangrijk deel van ons
rijk uitmaakt’ (merupakan bagian yang sangat penting dari kerajaan kita). Pada saat yang
sama orang ingin bekerja secara hemat. Setelah mengalami masa krisis yang dalam, ekonomi
Hindia mulai pulih kembali. Pertama-tama, dengan Keputusan tanggal 18 Mei 1901 no. 4,
gubernur-jenderal membentuk suatu Komisi untuk penelitian arkeologi di Jawa dan Madura.
Dr. J.L.A. Brandes, pegawai bahasa, pustakawan dari Bataviaasch Genootschap dan ahli di
bidang seni bangunan kuno dan dekoratif, diangkat menjadi ketua Komisi. Kedua anggota
lainnya adalah mantan pegawai pemerintah dan seorang pengawas di Departement van
Burgerlijke Openbare Werken / BOW (Departemen Pekerjaan Umum Sipil). Personil BOW
dikerahkan dalam penggalian dan restorasi monumen-monumen. Komisi itu mendapatkan
tugas untuk membuat pemerian arkeologis dan arsitektonis dari monumen-monumen itu, dan
juga membuat gambar-gambar, foto, dan cetakan gips monumen tersebut. Mereka juga harus
menunjukkan dengan cara apa kerusakan lebih lanjut bisa dicegah.
Setelah Brandes wafat (1905), penelitian arkeologi menjadi menurun. Di kalangan pemerintah
orang mulai menyadari bahwa pendekatan yang lebih profesional dan sistematis diperlukan
untuk dapat membawa pemeliharaan monumen pada tingkat yang baik. Pegawai arkeologi
yang juga merupakan ketua komisi, Dr N.J. Krom, pada tahun 1910 ditugaskan untuk
melakukan perjalanan studi ke Hindia-Britania dan Indocina Perancis. Dalam laporannya,
Krom jelas memilih untuk model Hindia-Britania. Dahulu, dinas purbakala di tanah jajahan
terorganisir dengan baik dan menjalankan tugasnya secara mandiri. Benda-benda purbakala
didokumentasikan dengan baik dan banyak dilakukan konservasi. Dinas itu mempunyai
pegawai berkualitas dalam jumlah yang cukup. Direkturnya memiliki fungsi koordinasi dalam
administrasi dan sesekali melakukan kerja lapangan. Di Indocina penggantian pemimpin
diatur lebih baik. Di sana ada banyak penelitian, tetapi konservasi terlalu sedikit dilakukan.
Dinas Purbakala di situ dikendalikan dari Paris: semua hasil penelitian ilmiah dari daerah itu
dikirim ke ibukota Perancis, sementara Dinas Purbakala di Hindia-Britania mengeluarkan
publikasi sendiri. Krom menyatakan bahwa dalam bidang kepurbakalaan Hindia-Belanda
lebih baik daripada Indocina, tetapi masih berada di belakang Hindia-Britania. Laporannya
menjadi dasar untuk mendirikan Dinas Purbakala. Pada saat yang bersamaan, Commissie voor
Oudheidkundig Onderzoek (Komisi untuk Penelitian Arkeologi) dibubarkan.
122