Page 129 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 129
24 P. Scholten (1875-1946)
Pada bulan November 1923 Prof.mr. Paul Scholten (1875-1946) menerima tugas dari
Minister van Koloniën (Menteri Urusan Tanah Jajahan) untuk membangun Rechtshogeschool
(Sekolah Tinggi Hukum) di Hindia-Belanda. Dengan demikian, pemerintah kolonial berharap
mengakhiri kekurangan yang sangat akut akan kader tenaga yuridis yang terlatih dalam
kepegawaian dan kekuasaan kehakiman. Sekolah Tinggi itu secara kualitatif harus setingkat
dengan universitas Belanda, tetapi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan
Hindia. Pilihan pemerintah jatuh pada Scholten karena dia pakar hukum terpandang dan
dalam hal kolonial dia orang bersih: sebagai gurubesar di Amsterdam, ia berada di luar
pertentangan arah antara Leiden yang 'etis' dan Utrecht yang 'konservatif'.
Pada tahun 1924 Scholten melakukan perjalanan ke India dua kali: pertama untuk
mengorientasikan diri dan melaksanakan persiapan organisatoris, dan yang kedua untuk
membuka Rechtshogeschool dan selama beberapa bulan pertama menjabat sebagai pemimpin
sekolah tinggi tersebut. ‘Reiscopieerboeken’ (buku dokumentasi perjalanan) dalam arsipnya,
yang sebagian besarnya terdiri dari surat kepada istrinya, memberikan gambaran mengenai
cara kerjanya. Ia melakukan berbagai pembicaraan dengan direktur-direktur departemen, para
anggota Raad van Indië (Dewan Hindia) dan Volksraad (Dewan Rakyat), pegawai
pemerintah, pengusaha, dan misionaris, baik orang-orang Belanda, Indonesia maupun Cina. Ia
mengunjungi pabrik-pabrik, rumah sakit, dan sekolah. Atas dasar itu ia menunjukkan
bagaimana menurutnya nantinya Indische Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum Hindia)
akan terlihat, mata pelajaran apa saja yang harus diajarkan di sekolah tinggi itu. Usulannya
dibahas pada tanggal 19 Maret 1924 dalam pertemuan khusus Dewan Hindia yang dipimpin
oleh Gubernur-Jenderal D. Fock (1921-1926).
Pada tanggal 28 Oktober 1924 Rechtshogeschool secara resmi dibuka di Batavia. Dalam
pidatonya Scholten mengacu pada nilai dari hukum adat. Menurut pendapatnya, hukum itu
berkembang terlalu lambat untuk dapat diterapkan pada berbagai sektor masyarakat, seperti
ekonomi, yang bisa cepat terkena perubahan. Dalam kasus seperti itu, hukum barat lebih
cocok: hanya dapat bermanfaat jika digunakan ‘met Indische toestanden en Indische
opvattingen’ (dengan situasi Hindia dan pandangan-pandangan Hindia). Ia menganggap
perkembangan hukum baru sangat penting: dalam hal itu ia melihat tugas yang sangat penting
bagi generasi baru ahli hukum Indonesia.
Mata kuliah hukum itu mencakup hukum barat, adat, dan Islam. Selain itu diberikan juga
perhatian terhadap ilmu bahasa, negara, dan antropologi. Latar belakang dari gurubesar yang
diangkat berbeda-beda. Jadi, misalnya F.M. van Asbeck dulunya bekerja pada Algemene
Secretarie (Sekretariat Umum), kabinet gubernur-jenderal; B. ter Haar pada rechterlijke macht
(kekuasaan kehakiman); J.H.A. Logeman ( yang kemudian menjadi Menteri Urusan Tanah
Jajahan) pada korps pegawai pemerintahan. Satu-satunya gurubesar Indonesia adalah Hoesein
Djajadiningrat: ia dulunya adalah pegawai bahasa dan Adjunct-Adviseur voor Inlandse Zaken
128