Page 39 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 39
3 De Dienst van het Boswezen (Dinas Kehutanan)
Asal mula dari dinas ini pada tahun 1858, ketika pemerintah mengangkat Inspecteur van het
Boswezen (Inspektur Kehutanan) untuk dapat memantau pengelolaan hutan di Jawa dan
Madura. Penerapan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) di tahun 30-an telah mengakibatkan
adanya pembukaan lahan dalam skala besar. Kayu yang ditebang dari hutan jati dan hutan
liar digunakan untuk membuat gudang-gudang dan rumah-rumah, untuk meluaskan jaringan
jalan, dan untuk membangun kapal dan irigasi. Kayu jati juga merupakan barang ekspor yang
populer: kayu itu keras, kuat, dan tahan air. Pada waktu itu, penduduk Indonesia masih
memanfaatkan hasil hutan secara bebas untuk kebutuhan hidup mereka. Mereka
mengumpulkan dan menebang kayu untuk keperluan rumah tangga. Sebagian produksi padi
dibudidayakan pada lahan tanpa air, yang disebut ladang: untuk bisa berladang, pertama-tama
orang harus menebang hutan. Lahan yang dibuka itu digunakan hanya untuk satu atau dua kali
panen saja dan selanjutnya (untuk jangka waktu panjang) dibiarkan tidak ditanami lagi.
Pertambahan penduduk membuat kebutuhan lahan pertanian meningkat: hal ini menyebabkan
lebih banyak terjadi penebangan hutan. Pada tahun 50-an, pemerintah Hindia menyadari
bahaya yang mengancam akibat penebangan hutan dan pembuangan modal. Penunjukan
inspektur kehutanan merupakan upaya pertama untuk menghentikan perkembangan yang
mengancam itu. Pejabat fungsi baru itu, awalnya ada di bawah Directie der Cultures
(Direktorat Budidaya Tanaman). Setelah reorganisasi pemerintahan negeri pada tahun 1866,
pejabat itu bersama dengan kantor bagiannya sendiri pada tahun 1870 pindah ke Departement
van Binnenlands Bestuur / BB (Departemen Pemerintahan Dalam Negeri).
Dengan berlakunya Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada tahun 1870, inisiatif
swasta mendapat keleluasaan. Pemerintah mengikuti dan mendukung dunia usaha. Untuk
perihal kehutanan berarti bahwa eksploitasinya tetap ada di tangan swasta. Hal ini ditetapkan
dalam Bosreglement (Peraturan Hutan) untuk Jawa dan Madura (Staatsblad van
Nederlandsch-Indië / Lembaran Negara 1874 no. 110), yang juga memuat aturan untuk
pengelolaan dan perlindungan hutan yang lebih baik. Sejak tahun 1875 bospolitie (polisi
hutan) harus mengawasi terjadinya pelanggaran dan kerusakan. Sejak tahun 1865 penduduk
Indonesia tidak boleh lagi memasuki hutan secara sembarangan. Penebangan, penyeretan,
pengumpulan kayu dan hasil hutan, membiarkan ternak merumput di hutan, sekarang – di
tempat-tempat khusus yang ditunjuk untuk itu – hanya diperbolehkan di bawah pengawasan
setelah mendapatkan izin atau dengan pembayaran uang. Terhadap ketentuan ini muncul
perlawanan, baik secara individu maupun dalam kelompok. Contoh perlawanan kelompok
adalah perlawanan Saminbeweging (Gerakan Samin). Para pengikut Samin mulai bergerak
pada tahun 90-an abad ke-19. Sesaat sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama (1914-1918)
aktivitas mereka mencapai puncaknya, tetapi juga dalam dekade berikutnya suara mereka
masih terdengar. Perlawanan mereka adalah dengan kepasrahan dan tanpa kekerasan. Untuk
para pengikut paham Saminisme, mata pencaharian mereka sebagian besar tergantung pada
hutan karena mereka tidak ingin berurusan dengan pengaturan uang.
38