Page 22 - Buku Toponimi Vorstenlanden Bab 1
P. 22
Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada
tahun 1645 M. Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana isi Perja-
nian Giyanti (1755) berikut:
a. Mataram Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan
Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta.
b. Mataram Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah
kekuasaan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I
dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta.
Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta pecah menjadi dua yaitu
Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757). Kesultanan Yogya-
karta juga terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan ini terjadi
karena campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah kekuatan
Mataram, sehingga mudah untuk di kuasai.
Keadaan Sosial
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, masyarakat Mataram disusun
berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik
tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu
oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau
gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola
oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah
rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan
adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah
di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan
memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu
pengatur kehidupan keagamaan.
14