Page 60 - Pembelajaran Vokasi di Perguruan Tinggi - Agunawan Opa
P. 60
lama (abadi atau kekal) dan dapat berarti pula tiada akhir. Dengan
demikian, esensi kepercayaan filsafat Perennial ialah berpegang pada
nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil
analogi realitas sosial budaya manusia, seperti realitas sepohon bunga
yang terus menerus mekar dari musim ke musim, datang dan pergi,
berubah warna secara tetap sepanjang masa, dengan gejala yang
terus ada dan sama. Jika gejala dari musim ke musim itu dihubungkan
satu dengan yang lainnya seolah-olah merupakan benang dengan
corak warna yang khas, dan terus menerus sama. Dengan demikian
filsafat perenialisme disebut juga filsafat keabadian. (Ainul Yaqin,
2019)
Selanjutnya, Perennialisme melihat akibat atau ujung dari
kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di
berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengobati zaman
yang sedang sakit ini, maka aliran ini memberikan konsep jalan keluar
”regressive road to cultural” yakni kembali atau mundur kepada
kebudayaan masa lampau yang masih ideal. Karena itu,
Perennialisme masih memandang penting terhadap peranan
pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia sekarang
kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan
telah teruji kehandalannya, dalam menahan arus cultural lag
(keterbelakangan kultural).
Sikap yang dilakukan aliran ini, untuk kembali ke masa lampau
bukanlah suatu sikap nostalgia, sikap mengenang, dan
membanggakan masa yang penuh kesuksesan, tetapi untuk membina
kembali keyakinan yang teguh kepada nilai-nilai asasi masa silam
yang diperlukan untuk kehidupan abad cybernetic ini.
Aliran perenialisme beranggapan bahwa pendidikan harus
didasari oleh nilai – nilai kultural masa lampau, oleh karena itu
kehidupan modern saat ini banyak menimbulkan krisis dalam banyak
bidang. Tokoh-tokoh aliran perenialisme ini antara lain:
(Kompasiana.com, 2020a)
1. Adolf Huxley (1948)
49