Page 136 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 136

MODUL 2

               gelisah.  Kedua  tangannya  ia  pakai  untuk  menutupi  telinganya.  Entah,  ketakutan
               seperti apa yang ada di benaknya. Matanya terpejam. Sekejap air matanya meleleh.
               Persis air mata duka. Dari isak tangisnya, sepertinya ia tak mau lagi berduka karena
               aksi kamboja.
                   Seperti anak ayam  tak ingin kehilangan induknya. Kami pun akhirnya mengekor
               pada keputusan Arif. Aku melihat kekecewaan Farid yang terpendam. Pandangannya
               sinis  padaku.  Angin  sore  Kucur  pun  terasa  mulai  beraksi.  Bulu  kudukku  berdiri.
               Tubuhku seperti hutan kabut. Menggigil dingin.
                   Aku memaksa untuk terus melangkah. Belum jauh, dari arah belakang terdengar
               suara berat dan parau memanggil kami.“ Pulanglah kalian semua. Jangan rebut kalau
               tidak ingin ada nyawa yang tercabut!” kata lelaki tua sambil melemparkan bola pada
               Farid.
                   “Mbah Suro?!” ucap batin  kami. Serentak pula tanpa kecuali, termasuk Arif yang
               paling dianggap pemberani, harus menundukkan kepala. Tak ada yang berani bertatap
               pandang dengan juru kunci makam Kucur itu. Hanya Dewi yang sempat menatap. Dari
               sorot  matanya,  ia  seperti  menyimpan  benci.  Dengan  cekatan  kututupkan  telapak
               tanganku ke mukanya.Wajah kami seperti berubah warna. Pucat pasi. Bahkan tubuhku
               kian terasa berat kala tangan Mbah Suro memegang pundakku. Kakiku terasa ambles
               ke dalam tanah. Bergetar berat tanpa mampu terkontrol. Bahkan kala Mbah Suro balik
               langkah  dan  hampir  menjauh,  tubuhku  masih  belum  mampu  kembali  stabil.  Begitu
               juga  Farid,  terlihat  lebih  parah.  Tubuhnya  lunglai  di  tanah.  Arif  yang  paling  cepat
               tersadar. Ia langsung berlari dan menjalankan onthelnya dengan kencang. Kami pun
               segera mengikuti jejaknya.
                   Esoknya,  kuning  langsat  cahaya  matahari  mulai  menebar  cahaya.  Pecahan-
               pecahan sinarnya menembus di setiap jendela dan celah rumahku. Seperti cahaya
               baru  dalam  ruang  gerak  kami  sekeluarga.  Di  ruang  tamu  ibu  telah  menyiapkan
               lengkap ubo rampe1untuk nyekar ke makam Mas Ganang. Kembang kantil, mawar
               hingga  bunga  tujuh  rupa,  sudah  tertata  rapi  di  nampan.  Aku  menjadi  terheran
               ketika di samping nampan bunga, tak kudapati tumpeng sesaji. Bukankah hari ini
               warga  harus  menyiapkan  sesaji  di  bawah  pohon  kamboja.  Tanda  tanya  terus
               menyelimuti  rasa  penasaranku.  Di  ambang  pintu  keluar,  ibu  seolah  tahu  rasa
               penasaran di pikiranku. “Kita utamakan kirim doa dan nyekar ke makam kakakmu,”
               terang ibu sambil mengunci pintu rumah.
                     Sampai di depan gerbang makam aku masuk lebih dulu. Di area lingkungan
               makam,  aku  ingin  kembali  memandangi  kamboja  tua  yang  tumbuh  kekar  itu.
               Daunnya  merimbun  tertiup  angin.  Di  bawah  pohon,  tampak  banyak  orang  sibuk
               meletakkan  sesaji  seperti  yang  dipesan  Mbah  Suro.  Tubuhku  sempat  bergejolak
               melihat situasi itu. Cepat-cepat kualihkan pandanganku untuk memastikan letak
               makam Mas Ganang. Aku lebih dulu. Kutinggalkan bapak, ibu dan Dewi yang masih
               berada di depan luar makan. Mataku terus mencari batu nisan bertuliskan Ganang
               Pratama.



                   Seingatku  makam  itu  tepat  di  bawah  kamboja  tua.  Kembali  aku  terkejut.
               Terlihat  ada  seorang  pelayat  jongkok  di  samping  makam  Mas  Ganang.  Tampak
               asing di mataku. Perlahan aku mendekat. Di balik rerimbun daun-daun pepohonan



                                                           126
   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141